Rabu, 12 November 2014

Berdiasporalah, Pemain Indonesia!

Di era globalisasi seperti saat ini, fenomena perpindahan manusia semkin marak kita temui. Dibukanya pasar bebas membuka peluang setiap individu untuk bisa bekerja di belahan bumi manapun. Setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa mengembangkan kariernya.

Pun yang terjadi di Indonesia. setiap personal yang ada di Indonesia saat ini memiliki kesempatan untuk bekerja dan meniti karir seluas-luasnya. Tak hanya berada di Indonesia saja namun juga terbuka kesempatan untuk bisa ke luar negeri. Fenomena penduduk Indonesia yang bekerja diluar negeri ini dinamakan sebagai diaspora.

Diaspora menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki definisi yakni tersebarnya penduduk dari satu negara ke berbagai penjuru dunia. istilah ini yang coba diusung penulis sebagai istilah yang juga dapat berlaku di sepakbola. Bila ditarik kesamaan antara diaspora dan sepakbola, arti yang muncul adalah keadaan dimana suatu negara mampu untuk memproduksi pemain sepakbola yang berkualitas dan mampu menyebar untuk bermain di liga dari berbagai penjuru dunia.

Fenomena pemain Indonesia ke luar negeri untuk bermain sepakbola dimulai pada tahun 1974. Adalah Iswadi Idris yang mengawali kariernya di luar negeri bersama klub Liga Australia Western Suburbs. Selama satu musim pada 1974-75, legenda sepakbola Indonesia ini tampil sebagai pilar klub. Berlanjut pada tahun 1988, klub Matsushita yang bermain di Liga Jepang merekrut salah satu penyerang haus gol Indonesia Ricky Yackobi. Tak mau kalah dengan rekanya setahun kemudian Robby Darwis menjadi pujaan publik Malaysia melaui aksinya di klub Kelantan FA pada 1989-90.

Pemain Indonesia mulai diperhitungkan di liga Eropa pada waktu itu ketika Kurnia Sandy dan Kurniawan Dwi Yulianto sukses masuk tim utama salahsatu klub Serie-A Italia Sampdoria. Pada waktu itu musim 1996-97, Kurnia Sandy masuk sebagai kiper ketiga tim yang bermarkas di Genoa, Italia itu. Namun sayang pada waktu itu Allenatore dari Sampdoria jarang memberikan menit bermain kepada Kurnia Sandy karena lebih mempercayakan pada kiper lokal. Pun hal yang sama terjadi pada Kurniawan. Padahal sebelum berlabuh di Sampdoria, Kurniawan telah memiliki pengalaman bermain di Liga Eropa bersama klub Swiss FC Luzern pada 1994-95.

Kurniawan DY ketika bermain di tim Primavera Sampdoria

foto via http://syifaurrahman.files.wordpress.com/


Fenomena diaspora pemain Indonesia untuk bermain di liga Eropa semakin deras pada medio 2000an. Liga Hongkong menjadi tempat mengadu nasib mengocek bola bagi Rochi Putiray. Selama 3 musim Rochi menjadi bomber yang menakutkan di depan gawang lawan di Liga Hongkong. Instant-Dict FC, Happy Valley, South China AA dan Kitchee SC menjadi klub tempat persinggahan Rochi Putiray. Bahkan sejarah mencatat pada sebuah laga ujicoba bersama Kitchee SC, Rochi Putiray sukses dua kali menjebol gawang AC Milan yang dikawal oleh  Christian Abbiati pada waktu itu.

Aksi Rochi Puttiray ketika membobol gawang AC Milan pada sebuah laga ujicoba Kitchee FC, Hongkong

foto via www.pbase.com/accl


Negara tetangga kita juga tak akan pernah lupa bagaimana dua pemain Indonesia yang bermain bagi klub lokal Selangor FC sukses memberikan kejayaan berupa juara liga. Bambang Pamungkas dan Elie Aiboy membawa Selangor FC berjaya pada musim 2005-07. Bahkan Bepe dua kali sukses menyabet gelar pemain terbaik dan topskor di Liga Malaysia.

Bepe mengharumkan nama Indonesia di negeri jiran Malaysia lewat torehan golnya

foto via www.sundul.com


Melihat fenomena diatas maka sangat layak jika himbauan untuk pemain Indonesia bisa berdiaspora, bermain di liga di penjuru dunia, untuk terus diapungkan. Memang, kenyataan yang selama ini terjadi pemain Indonesia masih ada dibawah dari pemain dari negara Eropa bahkan Jepang dan Korea Selatan dalam hal kualitas. Kebanyakan pemain Indonesia merasa minder ketika bersaing di liga selain liga Indonesia. namun, justru metode diaspora inilah yang sangat dibutuhkan oleh pemain Indonesia saat ini. 

Kita bisa melihat bagaimana amburadulnya Liga Indonesia. dari hal yang pertama dan esensial adalah soal jadwal liga yang kerapkali berubah. Menjadi hal yang sangat riskan bagi pesepakbola dan sebuah tim apabila jadwal liga bisa berubah tak menentu. Program yang telah dilaksakan oleh tim akan kena imbasnya dan pemain tidak bisa berkembang menuju performa terbaiknya. Jadwal Liga Indonesia kerap kali berubah karena izin dari panpel yang kerap tak keluar akibat tidak terjamin keamanan pertandingan. Kedua, manajemen gaji klub-klub Liga Indonesia masih sangat parah. Banyak klub-klub di Liga Indonesia yang terlambat membayarkan gaji kepada pemainya. Hal ini tentu berimbas pada kesejahteraan dan kenyamanan pemain. Hal ini jelas tidak menunjang pada perkembangan pemain dalam mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Faktor ketiga yang menyebabkan Liga Indonesia belum sepenuhnya profesional adalah masih banyaknya permainan keras yang kadang tidak di peringatkan oleh wasit. Tekel-tekel keras yang dipertunjukan oleh pemain kerap tidak di peringatkan oleh wasit. Hal ini berdampak besar ketika pemain Indonesia bertanding di kancah ASEAN seperti di AFF Cup atau Sea Games atau bahkan di kancah Asia seperti Piala Asia, Liga Champion Asia, dan AFC Cup. Pemain Indonesia kerap melakukan tekel keras akibat terbawa oleh permainan yang seringkali terjadi di Liga Indonesia. Namun bedanya, pada level ini pemain Indonesia mendapat getahnya melalui kartu kuning yang tidak perlu atau bahkan kartu merah yang justru memberikan kerugian bagi tim yang dibelanya. 

Kerasnya J-League saat ini di rasakan Irfan Bachdim bersama Venforet Kofu

foto via lintas.me


Atas dasar hal diatas, sudah saatnya pemain Indonesia untuk berdiaspora bermain di liga-liga sepakbola di luar negeri. Transfer ilmu akan didapatkan oleh pemain Indonesia mulai dari sistem liga yang terstuktur dengan rapi, fasilitas latihan yang bagus sehingga mampu meningkatkan skill individu serta penguatan mental untuk bersaing dengan para pemain sepakbola dari penjuru dunia. Tetap terus maju bagi pemain Indonesia yang memutuskan untuk berdiaspora di liga luar negeri bagi Andik Vermansyah, Hamka Hamzah, Patrich Wanggai, Yandi Sofyan dan Irfan Bachdim untuk musim ini. Tunjukkan bahwa pemain Indonesia tak kalah kualitas. Sekali lagi penulis sarankan, berdiasporalah, pemain Indonesia!


@aditmaulhas

Senin, 16 Juni 2014

Ketika Memakai Logika Sepakbola Pada Logika Cinta

Aku jatuh cinta pada sepakbola seperti aku jatuh cinta kepada perempuan. Semua terjadi tiba-tiba, tak dapat diterangkan dalam kata.
Otak yang kritis berhenti seketika. Aku tak berpikir sama sekali tentang kesakitan dan kekacauan yang mungkin terjadi karenanya.


Sebuah ungkapan dari Nick Hornby, Warga Inggris penggila bola dan penulis buku terkenal tentang sepakbola. Ya, ketika logika sepakbola dan cinta berjalan beriringan. Keduanya secara logika merepresentasikan sisi yang berbeda. Sepakbola dengan sisi maskulin dan cinta, yang apabila di lihat secara lebih dekat, kental dengan unsur feminis.


Sekarang kita ubah logikanya. Bagaimana logika cinta di benturkan dengan sisi dari sepakbola.

Aku mencintaimu dengan sepenuh hati layaknya seorang pemain yang mencium badge ketika melakukan selebrasi setelah mencetak gol
Aku belajar mencintaimu dengan jatuh bangun, bahkan menuai banyak kesalahan, seperti melatih upaya eksekusi tendangan bebas pada sesi latihan hingga percobaan ke 100 
Aku selalu berjuang untuk mempertahankan cinta kita layaknya sorang pemain yang tetap terus optimis untuk melakukan come back, walaupun keadaan sudah tertinggal dengan skor 3-0
Dan aku mulai berpikir realistis dalam mencintaimu, seperti tim dari kecil dengan budget yang terbatas yang bermain hanya berpikir untuk kebahagiaan tanpa pedulikan lagi sebuah titel. 



@aditmaulhas

Rabu, 26 Maret 2014

Ayo Menjadi Pemilih Cerdas!

Mesin Partai Politik sudah mulai dipanaskan. Jangan sampai kita, selaku pemuda, kalah panas dengan mereka.

Partai Politik sudah memulai ancang-ancang untuk menghadapi Pemilu 2014 yang akan dilaksanakan dua kali, yakni Pemilu untuk Legislatif pada tanggal 9 April dan Pemilu untuk badan Eksekutif pada 9 Juli. Strategi dari tiap Partai Politik sudah mulai di petakan. Strategi melalui pertemuan terbatas dan tatap muka dengan calon langsung, penyebaran alat kampanye, dan pemasangan alat peraga sebagai media kampanye sudah mulai di lakukan oleh tiap Partai Politik. Jelas, mesin dari tiap Partai Politik sudah mulai dipanaskan agar tak terlambat untuk “menjaring” suara di Pemilu 2014 nanti.



Lalu, bagaimana caranya yang notabene sebagai pemuda mempersiapkan diri menjelang Pemilu 2014 agar tak tertinggal?



Berikut ini adalah cara bagaimana kita sebagai pemuda dapat mempersiapkan diri dari awal jelang pelaksanaan Pemilu 2014:

 Pastikan namamu terdaftar sebagai pemilih untuk Pemilu 2014

Tahap ini merupakan persiapan yang paling dasar. Tentu untuk dapat memilih kita harus memastikan nama kita terdaftar dalam data yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini penting, mengingat memilih dalam pemilihan umum adalah hak bagi setiap Warga Negara Indonesia yang sudah memilik Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan namamu sudah terdaftar di KPU maka suaramu akan sah di Pemilu 2014. Untuk mengetahuinya bisa langsung akses di web data.kpu.go.id

Apabila sudah log-in di web data.kpu.go.id, masukkan nama lengkap di kotak pencarian dengan menyesuaikan dengan alamat lengkap kita berdasarkan data yang tercantum pada KTP. Mesin di web otomatis langsung mencari data kita. Nama kita akan tercantum jika kita sudah terdaftar sebagai pemilih di Pemilu 2014. Seperti inilah tampilan pada web nya:


Jadi, bagi kalian yang belum sempat melakukan cek, ayo buruan cek! :)


Setelah melakukan cek untuk nama kita resmi terdaftar di Daftar Pemilih Tetap bukan berarti langkah kita terhenti. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kepo calon legislatif (caleg) yang akan kita pilih! agar nantinya kita tidak salah pilih seperti memilih kucing dalam karung :)

Untuk melihat siapa-siapa calon representatif dari Yogyakarta untuk DPD dan DPR sebagai contoh bisa cek di http://t.co/NENfSoJYh9 dan http://t.co/gtxoleODwg

Dalam melihat siapa-siapa calon legislatif yang kita pilih, jangan lupa menyesuaikan daerah pemilihan sesuai dimana kita tinggal. Seperti contoh penulis terdaftar dalam daerah pemilihan (dapil) Daerah Istimewa Yogyakarta.

Masih asing dengan nama-nama calon tersebut? tenang. Masih ada internet dengan google dan social medianya. Kepo dengan cermat latar belakangnya. Coba cari tahu apa saja yang sudah dia lakukan sebelum mencalonkan diri sebagai representatif. Cermati juga visi-misi serta ideologi atau mungkin idealisme yang mereka usung.



Itu tadi sedikit langkah-langkah untuk menjadi pemilih cerdas dalam Pemilu 2014 ini. Jangan sampai kita justru terlambat panas dari mesin partai politik yang siap-siap menjaring suara dari kita semua. Satu hal, pastikan dirimu perhatian dan menggunakan hak kita sebagai Warga Negara Indonesia :)



Saya percaya bahwa perubahan itu datang dari hal yang paling kecil. Saya percaya perubahan untuk negara kita tercinta bisa dimulai dari memberikan suara kita pada pemilihan umum.


@aditmaulhas


Selasa, 03 Desember 2013

Belajar Sederhana dari Sosok Pak Tadji

              Masih terbayang dalam ingatan bulan lalu kita memperingati Hari Guru Nasional. Masih hangat pula sebuah tulisan “VIP-kan Guru Guru Kita” dari pak Anies Baswedan di surat kabar minggu lalu. Jelas, Guru memang pahlawan tanpa tanda jasa. Bagaimana posisi seorang Guru sangatlah menginspirasi bagi kita sekalian selaku muridnya dalam menghadapi dunia ini dengan ilmu yang tiada batas telah diberikan.
            Kemarin (2/12) membaca via akun twitter @MoehiYK terdengar kabar bahwa Guru dari SMA tercinta SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, bp Sutadji Daluprati akan purna tugas. Ketika itu pula terkenang memori-memori ketika masih dibimbing beliau pada masa SMA dulu.
            Pak Tadji, begitu beliau biasa di sapa, sangat memberikan insipirasi bagi saya. Memang ketika itu saya tidak pernah diajar secara oleh beliau secara klasikal di kelas karena beliau adalah guru jur IPA dan saya sendiri adalah murid IPS. Namun, satu hal yang membuat saya bisa berinteraksi dengan beliau adalah ketika berbicara tentang hal keagamaan.
            Beliau dikenal sebagai sosok yang religius oleh masyarakat sekitar. Bagi kita muridnya, Pak Taji merupakan sosok yang tegas dalam hal keagamaan. Tak segan-segan beliau memukul murid laki-laki nya ketika malas untuk menunaikan ibadah shalat berjamaah di masjid. Beliau bersuara paling lantang ketika kultum setelah shalat dzuhur menngingatkan kepada seluruh muridnya untuk terus  beribadah kepada Allah SWT.
            Yang berbekas langsung kepada saya dari seorang Pak Tadji adalah waktu itu sempat diingatkan oleh beliau ketika jamaah shalat dzuhur. Waktu itu, saya dengan beberapa teman saya akan mendirikan shalat berjamaah. Namun karena kami anggap waktu itu menunggu jamaah lain terlalu lama dan kita juga terburu-buru, akhirnya kami berinisiatif  untuk shalat jamaah lebih dulu. Alhasil jamaah grup besarnya ter-pending menunggu kami selesai shalat. Sadar kami telah mengganggu jalanya ibadah shalat, saya pun, yang waktu itu sebagai imam di dekati oleh pak Taji. Saya sangka ketika itu beliau akan memarahi saya namun ternyata beliau mendekati saya dan menasehati saya bahwa perbuatan saya tadi keliru dan dihimbau untuk tidak mengulanginya kembali.
            Sosok sederhana beliau juga tergambar ketika saya dengan teman saya Aji (@dimassaksilaaji) datang kerumah beliau dalam rangka mengundang beliau sebagai pembicara pada acara syawalan #2010Moehi. Beliau tinggal di rumah sederhana desain jaman dulu tak jauh dari SMA Muhi. Kami pun diterima beliau dengan baik di sebuah kursi dipan (kursi dengan bahan utama kayu) di ruang tamunya. Tampak disana pula kami melihat tumpukan kertas, yang mungkin waktu itu saya sangka adalah sebuah koreksian tugas dan ujian, serta sepeda yang selalu menemani beliau sebagai alat transportasi. Beliau, Pak Taji, selalu tersenyum ketika menerima kami. Tak ada perasaan sedih dari raut muka beliau pada waktu itu.
Pak Tadji quote
foto via @fanianiffah



            Ujaran, “jangan sombong ananda” menjadi ujaran yang terus terngiang di dalam hati sanubari setiap muridnya. Saya banyak belajar dari beliau tentang arti kesedehanaan dalam hidup serta keagaaman dalam hal meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Selamat purna tugas Pak Tadji, semoga kami dapat terus mengamalkan ilmu yang telah engkau berikan.


@aditmaulhas

Kamis, 14 November 2013

PSS Sleman Membina Kemandirian Menjadi Juara

             Setelah puasa gelar selama 37 tahun akhirnya rakyat Sleman berpesta. Dahaga akan gelar yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tuntas di tebus tepat pada Hari Pahlawan Nasional. Melalui partai final yang cukup sengit hingga perpanjangan waktu, skor 2-1 menjadi bukti kesuksesan PSS Sleman menggondol gelar juara Divisi Utama LPIS setelah mengalahkan Lampung FC. Sontak setelah peluit akhir babak perpanjangan waktu ditiupkan suporter Sleman tumpah ruah ke dalam stadion. Mereka seakan tidak peduli dengan pagar pembatas, yang mereka inginkan adalah memeluk para pemain PSS Sleman yang menjadi pahlawan versi mereka pada waktu itu.
            Namun dibalik euforia juara PSS Sleman yang memutus dahaga gelar, masih banyak pihak yang menyangsikan apakah benar-benar gelar tersebut layak buat pasukan Sembada. Seperti bias berhembus di sepakbola nasional isu akan pesanan gelar juara sudah di setting sebelumnya turut menyeruak. Hal ini sempat dicurigai mengingat venue semifinal dan final di gelar di stadion Maguwoharjo yang notabene kandang PSS Sleman. Keraguan publik akan gelar Divisi Utama LPIS bertambah ketika seremoni distribusi gelar. Tak ada perwakilan dari PSSI yang hadir pada partai final, justru Bupati Sleman Sri Purnomo yang memberikan trofi. Trofi yang dibuat pun di sinyalir mendadak dibuat. Dan yang lebih parahnya lagi tak ada nominal hadiah uang yang diberikan bagi sang kampiun. Fakta-fakta diatas seolah mengerucut pada kesimpulan bahwa kompetisi Divisi Utama LPIS 12/13 ini semacam kompetisi “dagelan” yang sekenanya dibuat asal memeras keringat.

Kapten PSS Sleman, Anang Hadi, mengangkat trofi juara Divisi Utama LPIS 2012/2013

foto via @elja_kaskus

              Kegamangan atas gelar juara kompetisi yang dianggap abal-abal secara tidak langsung mengurangi kualitas gelar yang di dapat dari PSS Sleman. Namun yang perlu dipahami adalah gelar juara yang diraih bukan hanya juara biasa yang didapat dengan perjuangan di atas lapangan hijau. Lebih dari itu, PSS Sleman meraih gelar juara Divisi Utama LPIS 12/13 adalah buah dari hasil kerja keras dari setiap elemen yang ada di dalamnya. Mulai dari pemain, tim kepelatihan, manajemen, hingga loyalitas tanpa batas dari suporter setia PSS Sleman. Jika dirangkum dalam satu kata, kemandirian adalah jawabanya. Selama musim kompetisi 2012/2013 punggawa Sembada menunjukkan nilai kemandirian tersebut.
          Segi finansial paling menonjol dalam nilai kemandirian yang ditunjukkan PSS Sleman selama kompetisi musim 12/13. Tak ada ceritanya manajemen menunggak pembayaran gaji tiap bulan. Padahal, hal ini menjadi masalah laten persepakbolaan di Indonesia. ditambah lagi tak ada utang yang tersisa di akhir kompetisi. Mengapa dari segi finansial PSS Sleman di musim ini begitu rapi? Kemandirian mencari sumber dana menjadi kunci. Di musim 12/13 ini PSS Sleman tak lagi bergantung pada dana APBD dari kab Sleman namun mulai mencari jalan alternatif untuk mandiri mencari pemasukan. Inovasi melalui PSS Store yang menjual jersey original, merchandise hingga peralatan suporter yang ditemani oleh Curva Sud Store membuahkan hasil menyediakan dana alternatif buat PSS Sleman. Bahkan menurut laporan di akhir musim, suporter Sleman turut memberikan royalti kepada klub sebesar 75 juta dalam satu musim. Jelas angka yang cukup besar untuk pemasukan klub. Jumlah tersebut usaha lain seperti angkringan yang di balut suasana PSS dalam Elja Ngangkring.
             Kemandirian para suporter cukup memberi andil untuk PSS Sleman juara di musim ini. Baik itu dari Slemania dan Brigata Curva Sud sangat rapi terkonsep dalam memberikan loyalitas tanpa batas. Seruan “no ticket no game” terbukti cukup ampuh untuk membuat mandiri para suporter Sleman membeli tiket di tiap pertandingan home tanpa melalui calo. Pemasukan tiket pun meningkat dan hampir tak ada tribun kosong ketika pertandingan home. Bahkan lewat kemandirian suporter Sleman pula, jersey yang dikenakan para pemain muncul. Keputusan yang diambil oleh manajemen mengenai hal ini sangatlah tepat. Suporter semakin menanamkan sense of belonging kepada klub kebanggaanya karena mereka turut dilibatkan dalam proses perjalanan klub.
            Tak boleh dilupakan pula inovasi dari segi media menjadi hal yang begitu menonjol pada kemandirian PSS Sleman untuk menjadi juara di musim ini. Media yang dulunya tidak begitu diperhatikan dalam perjalanan kompetisi menjadi berkembang pesat pada musim ini. Diawali oleh kemunculan Elja Radio, yakni live report pertandingan home dan wawancara langsung pemain melalui akses radio semakin menggemakan chant PSS Sleman ke nasional bahkan hingga mancanegara.  Terlebih lagi adanya media online bertajuk Bal-balan ID semakin mengepakkan sayap media PSS Sleman dengan menyediakan data statistik pertandingan komprehensif, suatu hal yang sedang naik daun akhir-akhir ini sebagai pelengkap kenikmatan mengamati sepakbola.
                Teringat akan ujaran yang tersebut dalam acara “Galeri Sepakbola Indonesia” : "Juara sejati, ialah yang bisa menyelesaikan kompetisi secara realistis tanpa tunggakan gaji yang menyengsarakan pemain." PSS Sleman bukan hanya sekedar juara Divisi Utama LPIS 12/13 diatas lapangan saja. PSS Sleman telah sukses mengawali dengan membina kemandirian menjadi juara.


@aditmaulhas

                

Minggu, 01 September 2013

Cukup Menjadi Penonton Layar Kaca untuk Laga Tur Pra-Musim Klub Eropa

Musim panas yang amat terik di eropa menjadi awal langkah klub sepakbola eropa untuk memulai bersiap menjelang musim liga yang baru. Perpindahan pemain dalam transfer window turut berperan dalam persiapan menjelang liga baru. Aksi jula peli pemain guna memperkuat segala lini menjadi hal yang taktis untuk meraih kesuksesan di Liga yang akan segera bergulir. Tak jarang harga gila-gilaan atau overrated kerap kali muncul saat pintu transfer window dibuka.
Selain transfer window yang selalu dijadwalkan oleh director club of football sebuah klub Liga Eropa, laga persiapan sebagai ujicoba menjadi hal yang tak boleh dikesampingkan. Laga pra-musim ini tak ayal menjadi ajang ujicoba rekrutan baru di transfer window dan sebagai tolok ukur kekompakan sebuah tim, apakah telah siap tanding dalam perjalanan liga yang begitu ketat. Bentuk laga pra-musim ini pun dikemas secara beragam. Mulai dari sekedar laga ujicoba sebagai kewajiban yang tertulis dalam klausul kontrak transfer pemain, laga testimonial mengenang pemain legenda, sebuah turnamen yang hanya berjarak 2 hari per pertandingan hingga tur melawat hingga ke belahan benua lain.
Laga pra-musim yang dikemas secara tur menjadi buah bibir, terutama kemunculanya yang teramat sering sehingga menimbulkan kesan “ekspansi” yang dilakukan klub Eropa sana. Manchester United memulainya dengan melakukan Tur ke Asia, utamanya Jepang dan Korea, yang mereka yakini sebagai fanbase terbesar menyaingi jumlah suporter di kota Manchester sendiri. Setelah itu lub Eropa mulai getol melanjutkan tur pra-musim ke benua Asia. Tercatat Real Madrid, Barcelona, Chelsea hingga Liverpool tanpa ragu-ragu memboyong armadanya menuju timur jauh. Tak hanya Jepang dan Korea Selatan saja yang menjadi santapan namun merambah hingga Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan tentu saja Indonesia.

Indonesia XI vs Liverpool FC

via indonesia.liverpoolfc.com

Menjadi semacam angin segar ketika mengetahui kabar bahwa klub kebanggaan sedari kecil dulu ketika menonton sepakbola Eropa, Liverpool, melakukan tur pra-musimnya di Indonesia. hal ini menjadi yang pertama kali, karena sebelumnya Liverpool melakukan tur pra-musim ke Asia namun tak merambah hingga Indonesia. mungkin bisa dibilang, tur ini adalah buah kesuksesan dari kerjasama maskapai penerbangan milik bumi pertiwi, Garuda Indonesia sebagai sponsor resmi Liverpool Football Club. Tanggal 20 Juli 2013 bertempat di Stadion Gelora Bung Karno akan berhadapan dengan pemain terbaik Indonesia dengan nama Indonesia XI.

Seperti yang kita tahu laga tersebut berakhir dengan kemenangan 2-0 untuk Liverpool. Namun sebuah pertanyaan terbesit ketika menjelang pertandingan tersebut. Sebagai seorang kopites, pendukung Liverpool, tentu saja wajar ditanyai pertanyaan seperti ini.pertanyaan itu adalah:

“Bro, gak ke Jakarta nonton Liverpool?” Dan jawaban saya waktu itu adalah: “Nggak. Entah kenapa nggak minat.”


Waktu itu jawaban saya mengapa melewatkan laga pra-musim Liverpool di Indonesia adalah sesimpel itu. Mungkin alasan yang tepat untuk melewatkan laga tersebut adalah seperti ini secara panjang lebar kurang lebih:

Pertandingan tur pra-musim tidak memiliki jiwa sebenarnya pertandingan. Tak ada hal yang di perjuangkan oleh 11 pemain dari kedua tim. Sepakbola sejenak menghilangkan esensi lelaki. That is any something worth to uphold in football match, but not in football friendly match.



Saya tahu pendapat ini sangatlah debate-able. Namun setidaknya saya telah mengungkapn dan anda bisa memulai untuk berpikir. Ini tentang sepakbola, olahraga yang sama-sama kita gemari akan keindahanya dari berbagai sudut pandang.

@aditmaulhas.

Selasa, 13 Agustus 2013

Semangat yang Layaknya Berbanding Lurus dengan Frekuensi

Frekuensi sejatinya bersifat fluktuatif. Kadang naik begitu jelas, kadang turun hingga tersamarkan.



Yang tersamarkan berdalih tidak dalam frekuensi yang sama. Berbeda. Di satu sisi tinggi sedangkan yang lain rendah.



Semangat layaknya frekuensi. Ya, kadang tinggi hingga bersemangat dan kadang rendah bagai lesu darah. Fluktuatif.


Idealnya kita berada dalam satu frekuensi yang sama dengan saling memahami.


@aditmaulhas.