Untuk bangga menjadi Indonesia membutuhkan energi yang tak sedikit. Ia harus terus dipupuk dan dijaga, serta terus
menerus didengungkan dalam pikiran dan perbuatan.
Menjadi Indonesia, dewasa ini,
merupakan satu perjuangan sendiri. Tak peduli hidup dimanapun, baik itu di
tanah air maupun di luar negeri, perjuanganya sama-sama membutuhkan keteguhan
hati. Jika menganggap bahwa bangga menjadi Indonesia adalah hal yang sepele,
silakan pikir kembali
.
Ada tiga dinamika yang menyusun
rupa wujud nasionalisme: hubungan antar anggota masyarakat yang solid,
berjejaring dengan bangsa lain, dan yang patut menjadi catatan, memeluk erat identitas
sebagai warga negara. Menjadi satu perhatian tersendiri mengapa bangga menjadi
Indonesia adalah penting wujud rasa nasionalisme kita kepada tanah air.
Rumput tetangga akan selalu lebih
hijau, kata peribahasa. Pun, kehidupan di luar negeri menawarkan kemewahan yang
kadang tak dapat ditemukan pada ranah ibu pertiwi. Apabila abai dalam nyamanya
hidup di negara lain, perlahan-lahan tak terasa, rasa nasionalisme itu mulai
memudar. Oleh karena itu, kewajiban untuk menjaga rasa bangga menjadi Indonesia
patut terus diupayakan, utamanya ketika berada di tanah rantau, yang jauh dari kampung
halaman.
Tengok bagaimana perjuangan
sekumpulan pemuda yang memperjuangkan nama tanah air di Belanda medio 1908. Sekelompok
pemuda bernama Abdulmajid Djojohadiningrat, Ali Sastroamidjojo, Nazir
Pamuntjak, dan Mohammad Hatta menggaungkan nama tanah air di negeri bunga tulip
itu. Melalui kesamaan visi, mereka tak lupa akan asal usul lalu kemudian
berdiplomasi memperjuangkan nama Indonesia. Tak ada rasa gentar sedikitpun di
hati mereka.
Sosok Bung Hatta menjadi idiom
yang tepat dari menjaga kebanggaan menjadi Indonesia. Bisa dikatakan, beliau
mendedikasikan seluruh waktunya untuk Nusantara. Sosok yang lahir Bukittinggi
ini memberikan contoh bahwa berada dibelahan bumi manapun, pikiran dan
perbuatan hendaklah tetap berpegang teguh pada rasa bangga pada ibu pertiwi. Masih
jelas terekam bagaimana sosok yang memiliki nama kecil Mohammad Athar ini
ketika membacakan pledoinya, Indonesia Vrij, di depan publik Belanda. “hanya
ada satu negara yang pantas menjadi negaraku, Ia tumbuh dengan perbuatan dan
perbuatan itu adalah perbuatanku”, tulisnya dalam sebuah pidato yang ia bacakan
tanpa gentar sedikitpun di Pengadilan Den Haag, Belanda. Tak ada kenal lelah
bagi Bung yang satu ini untuk mementingkan negara, bahkan hingga beikrar
menikah hanya setelah Indonesia merdeka.
Berangkat dari romantisme masa
lalu, pada saat ini bolehlah kita tetap berbangga pada masa depan tanah air. Predikat
sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia lalu mulai menancapkan
kukunya sebagai poros maritim dunia, hingga bonus demografi dengan berlimpahnya
anak muda yang akan menjadi pemimpin
masa depan, menjadi modal tersendiri untuk merawat kebanggaan menjadi
Indonesia.
Momentum 71 tahun kemerdekaan Republik
Indonesia patutlah menjadi titik untuk merawat rasa bangga kepada tanah air. Wujudnya
bisa bermacam-macam, mulai dari bangga memperkenalkan Indonesia dimanapun
berada, menggunakan atribut khas Indonesia, hingga yang paling hakiki yakni
mendaku diri untuk mengabdi kepada tanah air selepas belajar di negara lain. Percayalah,
sekecil apapun yang dilakukan atas niat untuk mengharumkan nama bangsa, akan ada
secercah harapan yang akan dituai oleh ibu pertiwi secara manis.
Sebagai manusia yang lahir di
pangkuan ibu pertiwi, sudah selayaknya merasa bangga menjadi Indonesia. Terukir
harapan untuk tak lelah merawatnya demi terwujudnya tujuan Indonesia menjadi
bangsa yang berdikari, kapanpun dan dimanapun berada.
@aditmaulhas