Ketika dua pihak, penyelenggara acara dan sponsor, telah mencapai
kesepakatan, maka mulai berlaku prinsip ekonomi saling menguntungkan. Keadaan
ini tak bisa ditawar atau bila yang terjadi sebaliknya, pelanggaran berupa
denda akan dijatuhkan.
PSSI, sebagai induk persepakbolaan tanah air, mengalami hal yang cukup
pelik mengenai sponsorship. Konfrontasi langsung dengan BOPI dan Menpora
perihal legalitas klub berujung berhentinya liga, menjadi titik awal munculnya
masalah dengan penyokong dana.
Jelas, kompetisi olah bola tertinggi di Indonesia yang berhenti secara
prematur, membuat para sponsor yang menanamkan dananya guna mereguk keuntungan,
kebakaran jenggot. Hitung-hitungan antara PT Liga Indonesia dengan sponsor tak
berlaku lagi.
Pundi-pundi uang dari sponsor dan hak siar menjadi hutang laiknya benang
kusut yang harus diurai PSSI, melalui PT Liga Indonesia, agar prinsip ekonomi
saling menguntungkan bisa tercapai melalui royalti yang terbayarkan.
Pemasukan yang Melimpah dari
Sponsor Kelas Kakap
Terhitung mulai musim kompetisi 2015, Indonesia Super League (ISL)
menggandeng penyokong dana anyar. Qatar National Bank, atau biasa disingkat
QNB, muncul sebagai pihak yang menyokong gelaran pertarungan klub sepakbola
papan atas di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, kemunculanya pun sangat
mengejutkan, hanya selang sehari sebelum liga bergulir.
Menurut rilis resmi yang dikeluarkan oleh PSSI, Bank yang disebut-sebut
sebagai salahsatu bank terkuat di dunia serta terdepan di Timur Tengah dan
Afrika ini mendapatkan hak eksklusif berkat jumlah uang yang ditanamnya.
Sebagai kontraprestasinya, QNB bisa menyandingkan brand nya sebagai nama liga.
Kontrak sponsor dengan tajuk “title partner” yang tak disebutkan jumlahnya
oleh PSSI ini, walau ditaksir ada di kisaran ratusan milyar, berlangsung selama
tiga tahun. Menurut Yousef Darwish, General Manager QNB, baik PT Liga Indonesia
dibawah PSSI dengan bank yang pernah menanamkan sahamnya di klub Prancis, Paris
Saint Germain ini, keduanya punya misi yang sejalan. Menjadikan liga Indonesia
sebagai platform olahraga terbaik di Asia.
Logo QNB yang tertera di seluruh media publikasi, terutama yang menempel
pada badge yang di seragam pemain, menjadi tak maksimal sebagai sarana branding
akibat liga yang mendadak berhenti
.
Selain sponsor utama yang bernilai jual tinggi, siaran langsung
pertandingan QNB League 2015 memang masih menjadi “kue” yang layak diperebutkan
oleh para penyedia jasa layanan televisi. Sebagai komparasi, pada tahun 2014,
PSSI melalui rilis resminya membeberkan fakta bahwa gelaran liga tahun lalu
mendapatkan penonton sebanyak 164 juta penonton dari 300 lebih pertandingan
semusim. Bukan sebuah angka yang kecil.
Dalam perjalananya, hak siar kompetisi olah bola termashyur di Indonesia ini
“diperebutkan” melalui jalur bidding. Para penyedia layanan siaran televisi,
baik berbayar ataupun non-berbayar, duduk satu meja, melakukan tawar menawar
kepada PT Liga Indonesia. Kepada penawar yang mengusung harga tertinggi dan packaging menarik, hak siar eksklusif
seluruh pertandingan akan diberikan.
Hasil bidding memutuskan BV Sport, perusahaan produser, distributor, dan
supplier program olahraga di televisi Indonesia sebagai pemegang hak siar
eksklusif liga Indonesia. Dalam kontrak yang berlaku selama 10 tahun
(2013-2023), BV Sport mempunyai hak pula untuk mendistribusikan live TV
pertandingan QNB League 2015 dengan kanal free-to-air dan berbayar dan
didistribusikan secara internasional oleh In Front Sports Group. Disini peran
MNC dan NET sebagai penyedia layanan TV free-to-air, Domikado sebagai penyedia
layanan live streaming, dan PT Lippo Group melalui Berita Satu pada layanan TV
berbayar bersama BV menyiarkan langsung QNB League 2015 ke seluruh pelosok
nusantara.
Tak dinyana, kesepakatan antara PT Liga Indonesia dua sponsor utama, Qatar
National Bank dan BV Sports, tak berjalan mulus seperti yang diperkirakan.
Kondisi perseteruan antara PSSI dengan Menpora perihal legalitas liga membuat
induk sepakbola ini memutuskan, kompetisi berhenti atas dasar kondisi force
majeure.
Liga Indonesia yang mengusung nama baru “QNB League” hanya berjalan selama
38 pertandingan, jauh dari yang terlah terjadwalkan yakni sebanyak 306
pertandingan. Logo QNB yang tertera di seluruh media publikasi sebagai
kontraprestasi, terutama yang menempel pada badge yang di seragam pemain,
menjadi tak maksimal sebagai sarana branding akibat liga yang mendadak
berhenti.
Urusan hak siar pun kena imbas dari berhentinya liga. Pada perjanjian hitam
di atas putih antara PT Liga Indonesia dan BV Sport, jumlah pertandingan yang
akan disiarkan menyentuh angka 306. Apa mau dikata, “kue” yang didapatkan
pemenang bidding hak siar PSSI ini jauh dari nominal kesepakatan diawal. Kontrak
hak siar senilai 1,5 triliun yang diinvestasikan oleh perusahaan yang memiliki
spesialisasi di bidang media rights distribution ini, tersendat di tahun
ketiga.
Telaah Status Force Majeure
yang Mengundang Perdebatan
Penghentian QNB League 2015 oleh induk persepakbolaan tanah air, dengan
status force majeure, sontak mengundang perdebatan. Pemahaman akan arti force
majeure yang berbeda-beda, melalui banyak sudut pandang pemikiran, membuat
pengejawantahan status yang diberikan PSSI kepada kompetisi olah bola tanah air
ini sangat beragam.
Bambang Pamungkas, kapten Tim Nasional Indonesia, turut serta menyumbangkan
pemikiranya tentang status force majeure yang berikan PSSI kepada liga
Indonesia. Melalui tulisan yang ia publikasikan melalui web pribadinya, www.bambangpamungkas20.com, pemain yang identik dengan nomor punggung 20 ini mengkritisi status force
majure yang digunakkan PSSI untuk menghentikan liga, sangatlah tidak tepat. Alasan
yang digunakan untuk menyanggah oleh pria yang akrab disapa Bepe ini adalah
prinsip Acts of God (kehendak Tuhan)
haruslah terpenuhi dahulu sebelum menetapkan status force majeure.
Striker Persija Jakarta ini pun menegaskan, status force majure haruslah
melewati tiga tahapan yakni externality
(dikarenakan pihak lain), unpredictability
(tidak dapat diperkirakan), dan irresistibility
(tidak dapat dihindari). Berdasarkan dari tiga tahapan tadi, Bepe menyimpulkan
dengan fakta yang ia dapatkan sebagai pemain, kondisi liga yang diputuskan
berhenti dengan status force majeure adalah tidak sesuai. Pemuda kelahiran
Getas ini bahkan menambahkan perspektif ekonomi, justru kondisi ini merugikan
klub sebagai salahsatu pemilik saham dari PT Liga Indonesia.
Lain orang, lain pula pemikiran. Opini dari Bambang Pamungkas tadi
disanggah oleh Aristo Pangaribuan, Direktur Hukum PSSI. Definisi status force
majeure, yang dikritisi oleh Bepe tidak sesuai dengan tahapan dalam Acts of
God, coba ditampik oleh Aristo. Pria berdarah batak ini mencoba mendebat
argumen dari pemain Indonesia yang ia kagumi melalui ranah yang ia tangani di
PSSI, melalui legal hukum.
Dalam opininya yang ditayangkan pada laman PSSI.org, Direktur Hukum PSSI
ini menegaskan bahwa status force majeure yang diberikan oleh PSSI untuk
menghentikan QNB League 2015 sudah tepat. Sebagai penguat, alumni dari Utrecht
University Belanda ini menjadikan pasal dalam Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
sebagai dasar argumen. Dijelaskan pada tulisanya, melalui hukum positif yang
mengacu KUHPerdata pasal 1244 sampai 1245, kondisi darurat dapat digolongkan
dengan tiga unsur: (1) Karena sebab‐sebab yang tak terduga; (2) Karena keadaan memaksa; dan
(3) Karena masing‐masing perbuatan tersebut dilarang.
Berdasarkan pasal
yang dipaparkan, dikutip langsung dari opininya berjudul “Force Majeure dan
Titah Sang Penguasa”, Aristo menggarisbawahi dari sudut pandang dari objek dan
subjek suatu keadaan yang dikatakan sebagai suatu keadaan darurat. “Di dalam
konteks ini, PSSI melihat bahwa keadaan darurat ini harus dilihat dari
subjeknya. Artinya, PSSI sebagai subjek yang berjanji dengan sangat terpaksa
tidak mampu untuk memenuhi janjinya kepada para anggotanya, untuk menjalankan
kompetisi sepakbola. Hal ini terjadi karena adanya ketiga sebab tersebut”,
terangnya membela PSSI akan keputusanya menghentikan liga dengan status force majeure.
Perlu menjadi
perhatian pula, bahwa status force majeure ketika dilihat dari sisi ekonomi,
sangatlah berpengaruh dalam sebuah klausul kontrak, termasuk perjanjian bisnis.
Force majeure secara harfiah dapat kita artikan, dalam perspektif ekonomi dan
bisnis, adalah keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya
karena suatu keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya
kontrak dan keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad
buruk.
Namun dalam penerapanya, status force majeure seringkali “diakali” oleh
pelaku bisnis sebagai sebuah upaya “cuci tangan” mengeliminir sebuah kesalahan
dalam perjanjian kontrak bisnis. Hal inilah nyata-nyatanya saat ini dilakukan
PSSI. Kontrak dengan sponsor dan broadcaster, QNB dan BV Sport, dianggap
selesai dengan pembayaran royalti sesuai masa yang telah berjalan. Pun dengan
pembagian saham dengan klub, PSSI bisa berkilah atas sedikitnya keuntungan yang
dibagi karena status force majeure.
Turnamen Pelipur Lara ala PT
Liga
Kondisi yang menuntut pembayaran hutang yang tercipta akibat berhentinya
liga, membuat PT LI harus memutar otak. Kontrak dengan sponsor yang sudah
diteken jelas menuntut kompensasi. Tak ayal, Joko Driyono sebagai CEO harus
mengakomodasi kepentingan dari kedua belah pihak.
Alhasil, Turnamen bertajuk QNB Indonesia Champions Cup 2015 yang digagas
Joko Driyono setelah berhentinya liga pun mengandung nilai ekonomi yang sangat
kental. Gelaran yang dianggap sebagai pramusim ini tak lebih dari sekedar
pelipur lara bagi para sponsor dan broadcaster TV. Hal ini terlihat dari ramuan
Jokdri, dalam membuat penjadwalan dan pembagian grup. Semua diatur sesuai
dengan azas ekonomi saling menguntungkan.
Untuk sekelas turnamen pramusim, ajang QNB Indonesia Championship Cup 2015
ini tergolong wah. Jumlah pertandingan yang melibatkan 18 tim yang dibagi dalam
tiga grup ini cukup banyak, total ada 119 pertandingan. Seluruh pertandingan
tersebut akan disiarkan secara live, yang secara tidak langsung akan menjadi
kompensasi gagalnya BV Sport mengakomodir gelaran liga secara keseluruhan. Pun
dengan branding QNB, logo yang terpampang di seluruh media publikasi, termasuk
yang tertera di jersey pemain, akan lebih lama terekspose.
Tak hanya itu, perputaran fulus yang ada di turnamen pramusim bentukan PT
LI ini sangatlah melimpah. Untuk kampiun dan runner-up akan diganjar hadiah
sebesar masing-masing 1 milyar dan 500 juta. Sementara uang lelah bagi klub,
telah disediakan sejumlah total 500 juta yang akan dibagi rata ke masing-masing
klub. Untuk klub yang memiliki rating hak siar yang meningkat, juga dijanjikan
bonus sesuai dengan perhitungan dalam merit
system.
Melihat nominal perputaran uang di
turnamen yang dijadwalkan mentas pada 26 Mei-19 September 2015 ini, semakin
jelas bahwa turnamen ini adalah kompensasi untuk pihak sponsor dan broadcaster
TV, akibat liga yang tak berjalan sesuai rencana.
Utang-Utang PSSI yang Masih
Menggantung
Urusan PSSI dan PT LI dalam hal mengakomodir QNB dan BV Sport, sebagai
official sponsor dan broadcaster Indonesia Super League, demi menutupi
kompensasi kontrak awal, ternyata belum sepenuhnya menutupi hutang PSSI.
Patut dicermati, sebelum gelaran liga ini berakhir karena status force majeure,
PSSI sudah terlebih dahulu menumpuk banyak utang.
Laporan dari Apung Widadi, Aktivis Save Our Soccer, di acara Mata Najwa
pada (6/05) silam membelalakkan mata kita. Sebuah hutang kontribusi komersial
yang selayaknya dibayarkan ke klub atas hak siar televisi, tak jua dibayarkan.
Tak tanggung-tanggung, dua musim PT LI telah berhutang kepada klub, yakni musim
2012/13-2013/14 total sebesar 97,8 milyar.
Sudah selayaknya, PSSI sebagai induk sepakbola tanah air untuk introspeksi.
Hutang-hutang yang menggunung ini menunggu sebuah pertanggungjawaban untuk
dibayar, bukan hanya dialihkan. Seperti ujaran pepatah, “gali lubang tutup
lubang” bukanlah cara yang tepat untuk melunasi sebuah hutang.