Minggu, 22 November 2015

[Football Travelling Notes] Penaklukkan Old Trafford

Siapa yang sangka, saya yang notabene pendukung Liverpool FC ini bisa singgah, berjalan, hingga melihat aura dari kandang setan merah sang rival. Kesempatan itu saya dapatkan secara tak sengaja ketika David Beckham, eks pemain Manchester United yang kini berkecimpung sebagai duta organisasi anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa UNICEF, memanggungkan pertandingan amal bertajuk “UNICEF Charity for Children”, Sabtu pekan lalu (14/11) dengan mengundang sejumlah pesepak bola ternama.

Niat awal hati bukanlah datang untuk menonton pertandingan. Tak lebih tidak bukan, hal ini adalah alasan idealis saya sebagai penikmat olahraga terpopuler sejagad raya ini. Menonton pertandingan amal adalah membuang-buang waktu, untuk menyaksikan kedua kesebelasan memperagakan drama nir semangat kompetisi. Alasan saya menyambangi Old Trafford cukuplah sederhana, bisa menjejakkan kaki di stadion yang konon cukup angker bagi Liverpool FC. Bisa bertemu dan berfoto bareng dengan legenda sepak bola yang hadir adalah bonus.

Sabtu lalu, matahari tampak malu-malu menampakkan dirinya. Perjalanan saya dari Liverpool Lime Street menggunakan kereta hingga sampai di stasiun Manchester Picadilly setia di guyur hujan rintik-rintik. Perjalanan dari Liverpool menuju Manchester kurang lebih memakan waktu satu jam. Kereta sempat mengalami penundaan selama 30 menit. Dua teman perjalanan saya, yang notabene pendukung Manchester United, mulai gusar jikalau terlambat sampai di tujuan.

Kami sampai di Old Trafford kita pertandingan tersisa 15 menit lagi. Sambil menyeruput kopi menggebah dinginya sabtu itu, saya mencoba melihat kondisi sekitar stadion yang berkapasitas 75.000 penonton itu. Tampak tribun Sir Alex Ferguson stand, sebuah tribun yang sengaja diberi nama pelatih asal Skotlandia yang sukses membuat sebuah tirani kekuasaan, 27 tahun bersama klub setan merah. Tak hanya itu, Streford End, sebuah tribun yang menasbihkan Denis Law dan Eric Cantona sebagai “The King of Stretford End”, karena rekor golnya, tampak berdiri kokoh di salah satu sudutnya.

Trbun dengan nama Gaffer Skotlandia itu


The King of Stretford End


Selepas meihat sekeliling Old Trafford, kedua rekan saya yang merupakan United Army, sebutan untuk pendukung anak asuh Van Gaal ini, mengajak saya untuk menunggu di lorong tempat keluar para pemain. Perlu diketahui, Old Trafford mempuyai jalur khusus, tempat dimana suporter bisa menjumpai para pemain keluar dari stadion selepas pertandingan. Dan apabila beruntung, kita dapat sekadar meminta tanda tangan atau selfie bersama idola.

Rombongan fans penikmat sepak bola yang setia menunggu pujaanya


Satu persatu pemain keluar dari Old Trafford selepas pertandingan. Namun, tak semuanya menghampiri. Ada yang langsung berjalan dan melambaikan tangan macam Owen, Hierro, Ronaldinho, Cafu atau Kluivert. Ada pula, yang begitu baik untuk menghampiri puluhan fans yang menunggu ditengah rintiknya hujan seperti Edwin Van der Sar, Van der Gouw, ataupun legenda kebanggaan Kopites, Jamie Carragher. Sedikit sorakan dengan nada mengejek sempat keluar ketika eks kapten timnas Inggris, John Terry, melangkah keluar.

Luis Figo, kapten Rest of The World XI

Jamie Carragher, legenda Kopites

Edwin Van der Sar, kiper Belanda di Final World Cup 2010. Tampak dari belakang


Kebahagiaan melihat dan berfoto bersama kumpulan para eks pemain yang tergabung di Tim Beckham dan Tim Figo, hanya berlangsung kurang lebih 20 menit. Tiba-tiba, secara cepat tak disangka, sejumlah polisi datang dan menyuruh para fans yang berkumpul untuk mensterilkan area. Sontak, pikiran saya mengira bahwa Old Trafford sedang dalam kondisi darurat, mengingat sehari sebelumnya dunia sedang terhenyak dengan aksi terorisme di Paris, Prancis.

Perlahan, para fans yang menunggu para pemain untuk menghampiri, pulang meninggalkan area tersebut. Perjalanan sore itu berakhir disini, gumam saya dalam hati sambil melihat detik waktu di arloji. Namun, kedua rekan saya yang pendukung Man United itu masih setia menunggu, belum ingin beranjak pulang. “Masih ada beberapa mobil bagus yang parkir tak jauh dari pintu keluar. Masih ada figur penting di dalam sana”, ujarnya coba meyakinkan.

Lambaian dari para steward yang secara halus mengusir para fans dengan ujaran “no one inside” sedikit melunturkan asa untuk tetap berada disana. Saya yang pendukung Liverpool ini jelas santai saja, mengingat asa diawal hanya ingin melihat sekeliling Old Trafford. Atas dasar kesetiakawanan, saya masih singgah di stadion yang dibuka pada tahun 1910 ini, menemani kedua kawan yang masih setia menanti sosok penting itu keluar dari stadion. Seketika, sebuah mobil sedan hitam parkir tepat di depan pintu keluar.

Benar saja, sosok penting itu keluar dari dalam Old Trafford. Seorang yang saat ini berprofesi sebagai dosen Harvard University, pemegang tirani kekuasaan selama 27 tahun di Manchester United. Dialah pria asli Skotlandia, Sir Alex Ferguson. Opa yang satu ini sebenarnya sudah masuk dalam mobil. Namun, mungkin saja atas dasar tergerak melihat teriakan kami dari luar, dibawah hujan rintik sore itu memanggil namanya, membuat beliau memberhentikan laju mobilnya. Kemudian yang terjadi adalah momen bisa lebih dekat dengan Sir Alex, mengabadikanya lewat sebuah sefie bersama pelatih yang gemar mengunyah permen karet saat pertandingan ini.

Momen selfie bersama Opa Fergie


Sebuah guyonan sontak terbesit di kepala saya setelah momen tersebut. “Piye kabare, penak jamanku to?” ujar Opa Fergie, kepada saya yang notabene suporter Liverpool ini. 


Satu yang pasti, Old Trafford sudah takluk ditangan Kopites, bung!






@aditmulhas





Selasa, 10 November 2015

Mengingat Para Pahlawan dari Tanah Britania Raya


“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan


Untuk urusan mengingat jasa para pahlawan, kita harus belajar banyak dari apa yang telah dilakukan publik Britania Raya. Mereka selalu mengkhidmati perjuangan para pahlawan mereka yang telah gugur di medan perang, melalui satu hari yang penuh syahdu.

Tiap tahunya, tepat pada tanggal 11 November, masyarakat Britania Raya selalu mengingat jasa para pejuangnya. Hari penuh peringatan itu bernama Remembrance Day. Bagi mereka, November adalah bulan yang tepat untuk mengingat para pahlawanya yang telah gugur pada Perang Dunia ke II. Poppy flower, sebuah bunga berwarna merah menyala menjadi simbol mereka mengingat pahlawan yang telah berjuang, dengan mengenakanya sebagai hiasan tambahan pada baju yang dikenakan.

11 November pukul 11 siang selama dua menit, rakyat Britania akan mengheningkan cipta, mengkhidmati jasa para pahlawanya. Dalam sebuah upacara, yang dihelat pada tempat yang pada lokasinya dibangun monumen peringatan akan kemenangan dari sebuah perang, atau biasa disebut local war memorials, masyarakat Britania Raya berkumpul untuk melakukan two minutes silence. Tak luput hadir pula Ratu Elizabeth II sebagai pemegang kekuasaan di Britania Raya, perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, dan para kepala daerah (Duke) pada acara yang dirancang sedemikian rupa oleh organisasi social yang peduli kepada para veteran perang bernama The Royal British Legion.

Dari apa yang mereka lakukan pada Remembrance Day, jelas terlihat bahwa jiwa para pejuang yang telah gugur pada Perang Dunia ke II, terpatri begitu dalam di sanubari masing-masing masyarakatnya. Tanpa ada himbauan apapun, publik Britania Raya mengenakan aksesori berupa bunga poppy, seolah mereka sepakat bahwa hal tersebut merupakan sekecil-kecilnya penghormatan kepada pahlawan. Bahkan, untuk para veteran perang yang masih hidup, mereka tetap peduli dengan berdonasi selama November ini.

Melalui apa yang publik Britania Raya untuk mengingat pahlawan, kita bangsa Indonesia, masih perlu untuk belajar tentang ingat-mengingat, khidmat-mengkhidmati, jasa para pejuang kemerdekaan tanah air.

Disadari atau tidak, bangsa kita masih sering tergopoh-gopoh untuk urusan ingat-mengingat. Mengambil dana rakyat untuk kepentingan pribadi pura-pura lupa. Mengekang kebebasan berpendapat kemudian merasa tak tahu apa-apa. Semua disibukkan oleh kegiatan untuk diri sendiri, hingga lupa pada hal-hal yang bermakna dalam hidup. Termasuk hal yang sederhana namun khidmat, menapak tilas rasa nasionalisme dengan menghargai jasa para pahlawan.

Setiap tahunya, tepat pada tanggal 10 November, rakyat Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Sebuah hari dimana pada tanggal tersebut, diperingati atas dasar perjuangan Bung Tomo dalam pertempuran Surabaya melawan penjajah. Pekik “Merdeka atau Mati” dari Bung Tomo menjadi pengobar semangat para pejuang demi menjaga kedaulatan tanah air.

Momentum Hari Pahlawan ini dapat menjadi titik balik bagi kita, para pembelajar di negeri orang, untuk terus menyelipkan semangat para pejuang yang berkorban tanpa pamrih untuk tanah air. Wujudnya pun bisa berbagai macam, mulai dari menuliskan Indonesia dalam tugas-tugas perkuliahan hingga menjadi insan bangsa yang menyebarkan keelokan bumi pertiwi dalam pergaulan sehari-hari. Karena setidaknya, kita telah mengingat jasa para pahlawan dengan apa yang kita bisa perbuat.


Berkaca dari apa yang sudah dilakukan masyarakat Britania Raya terhadap para pejuangnya di Perang Dunia II, sudah selayaknya kita mengkhidmati bagaimana para pahlawan berkorban bagi bumi pertiwi. Mereka tak pedulikan darah dan keringat yang mengucur, apalagi kepentingan pribadi. Yang tertanam pada sanubari mereka pada waktu itu hanyalah bagaimana bangsa ini bisa merdeka, bebas berpijak pada kesatuan. Dan, rasa-rasanya, tak ada lagi penghormatan tertinggi bagi pahlawan, selain mengingat akan jasa luhur mereka kepada bangsa tercinta.



@aditmaulhas