Rabu, 17 Agustus 2016

Merawat Kebanggaan Menjadi Indonesia

Untuk bangga menjadi Indonesia membutuhkan energi yang tak sedikit. Ia harus terus dipupuk dan dijaga, serta terus menerus didengungkan dalam pikiran dan perbuatan.

Menjadi Indonesia, dewasa ini, merupakan satu perjuangan sendiri. Tak peduli hidup dimanapun, baik itu di tanah air maupun di luar negeri, perjuanganya sama-sama membutuhkan keteguhan hati. Jika menganggap bahwa bangga menjadi Indonesia adalah hal yang sepele, silakan pikir kembali
.
Ada tiga dinamika yang menyusun rupa wujud nasionalisme: hubungan antar anggota masyarakat yang solid, berjejaring dengan bangsa lain, dan yang patut menjadi catatan, memeluk erat identitas sebagai warga negara. Menjadi satu perhatian tersendiri mengapa bangga menjadi Indonesia adalah penting wujud rasa nasionalisme kita kepada tanah air.

Rumput tetangga akan selalu lebih hijau, kata peribahasa. Pun, kehidupan di luar negeri menawarkan kemewahan yang kadang tak dapat ditemukan pada ranah ibu pertiwi. Apabila abai dalam nyamanya hidup di negara lain, perlahan-lahan tak terasa, rasa nasionalisme itu mulai memudar. Oleh karena itu, kewajiban untuk menjaga rasa bangga menjadi Indonesia patut terus diupayakan, utamanya ketika berada di tanah rantau, yang jauh dari kampung halaman.

Tengok bagaimana perjuangan sekumpulan pemuda yang memperjuangkan nama tanah air di Belanda medio 1908. Sekelompok pemuda bernama Abdulmajid Djojohadiningrat, Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamuntjak, dan Mohammad Hatta menggaungkan nama tanah air di negeri bunga tulip itu. Melalui kesamaan visi, mereka tak lupa akan asal usul lalu kemudian berdiplomasi memperjuangkan nama Indonesia. Tak ada rasa gentar sedikitpun di hati mereka.

Sosok Bung Hatta menjadi idiom yang tepat dari menjaga kebanggaan menjadi Indonesia. Bisa dikatakan, beliau mendedikasikan seluruh waktunya untuk Nusantara. Sosok yang lahir Bukittinggi ini memberikan contoh bahwa berada dibelahan bumi manapun, pikiran dan perbuatan hendaklah tetap berpegang teguh pada rasa bangga pada ibu pertiwi. Masih jelas terekam bagaimana sosok yang memiliki nama kecil Mohammad Athar ini ketika membacakan pledoinya, Indonesia Vrij, di depan publik Belanda. “hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku, Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku”, tulisnya dalam sebuah pidato yang ia bacakan tanpa gentar sedikitpun di Pengadilan Den Haag, Belanda. Tak ada kenal lelah bagi Bung yang satu ini untuk mementingkan negara, bahkan hingga beikrar menikah hanya setelah Indonesia merdeka.

Berangkat dari romantisme masa lalu, pada saat ini bolehlah kita tetap berbangga pada masa depan tanah air. Predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia lalu mulai menancapkan kukunya sebagai poros maritim dunia, hingga bonus demografi dengan berlimpahnya anak  muda yang akan menjadi pemimpin masa depan, menjadi modal tersendiri untuk merawat kebanggaan menjadi Indonesia.

Momentum 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia patutlah menjadi titik untuk merawat rasa bangga kepada tanah air. Wujudnya bisa bermacam-macam, mulai dari bangga memperkenalkan Indonesia dimanapun berada, menggunakan atribut khas Indonesia, hingga yang paling hakiki yakni mendaku diri untuk mengabdi kepada tanah air selepas belajar di negara lain. Percayalah, sekecil apapun yang dilakukan atas niat untuk mengharumkan nama bangsa, akan ada secercah harapan yang akan dituai oleh ibu pertiwi secara manis.


Sebagai manusia yang lahir di pangkuan ibu pertiwi, sudah selayaknya merasa bangga menjadi Indonesia. Terukir harapan untuk tak lelah merawatnya demi terwujudnya tujuan Indonesia menjadi bangsa yang berdikari, kapanpun dan dimanapun berada.


@aditmaulhas

Jumat, 22 April 2016

Wanita Berdaya untuk Hal yang Hakiki


Yang membuat wanita berdaya adalah ketika ia yakin akan satu hal, kemudian memegang teguh hal tersebut untuk berlanjut memperjuangkanya.

Berbicara mengenai Hari Kartini, dewasa ini bukan lagi seremonial berupa wanita yang mengenakan kebaya untuk memperingati hari tersebut. Ada yang lebih menarik dari sekadar seremonial yang dikemas mengenakan kain yang tampak indah sedemikian rupa. Hari ini, Hari Kartini pantaslah diingat dalam wujud menapak tilas bagaimana perjuangan luhur seorang pemudi bangsa, yang menginspirasi melalui perjuanganya menegakkan emansipasi.

Untuk saat ini, patutlah kita angkat topi pada perjuangan ibu-ibu petani Kendeng yang memperjuangkan kelestarian lingkungan, ibu Suciwati yang tegas menolak lupa akan kejelasan kasus suaminya Alm Munir, dan ibu Sumarsih yang tetap teguh dalam diamnya tiap Kamis di depan Istana Negara, demi titik terang pengakuan dari Pemerintah atas wafatnya sang anak akibat tragedi 1998.

Ketiganya punya persamaan: mereka yakin pada satu hal yang hakiki dan untuk berdaya mereka terus memperjuangkanya karena benar.

Ibu-ibu petani dari dusun Kendeng, Jawa Tengah ini adalah representasi bagaimana untuk peduli terhadap lingkungan bisa dilakukan segera dari diri sendiri tanpa banyak acap kata. Lahan yang selama ini makmur ijo royo-royo, tiba-tiba terdesak atas rencana dibangun pabrik semen tepat di atasnya. Tak pelak, ada hak-hak petani yang tiba-tiba tercerabut. Tanah yang terletak di daerah Kabupaten Pati Selatan ini patut diperjuangkan bagi ibu-ibu Petani Kendeng ini. Namun yang menarik, aksi yang perlawanan menuntut hak yang mereka lakukan tak ingin dilalui dengan cara kekerasan. Mereka, ibu-ibu petani dari Dusun Kendeng itu melawan dengan aksi teatrikal, memasung kaki dalam sebuah adonan semen. Apa yang dilakukan oleh ibu-ibu Petani yang memperjuangan lahan yang di dalamnya terdapat 112 mata air ini patutlah kita hormati dengan khidmat.

Maria Katarina Sumarsih, atau biasa disapa ibu Sumarsih ini merupakan salahsatu wanita yang tegar di Indonesia. Anaknya bernama Wawan menjadi korban pada kejadian yang menjadi sejarah kelam bagi bangsa ini, yakni tragedi 1998. Bagaimana duduk perkara anaknya menjadi korban pada keributan yang terjadi bulan Mei 18 tahun silam. Saat ini, beliau tak henti memperjuangkan hak apa yang keluarganya alami melalui aksi diam tiap hari kamis di depan Istana Negara, atau yang lebih familiar dikenal dengan aksi Kamisan. Tiap kamis, ibu Sumarsih tak sendiri namun bersama dengan para keluarga yang menjadi korban keganasan aksi 1998, sama-sama melakukan aksi bisu menuntut hak impunitas itu. Sungguh, keteguhan hati seorang ibu Sumarsih memperjuangkan janji pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, hingga menyentuh aksi kali ke 438 hingga hari ini, patut kita hargai.

Dibalik kampanye #MenolakLupa, ada satu sosok yang selalu berada di garda depan yang dengan lantang menyuarakan tuntutan itu. Ialah tak lain tak bukan adalah seorang ibu Suciwati, istri dari Alm Munir, aktivis HAM yang dikenal cukup vokal itu. Seperti yang kita tahu bersama, kasus wafatnya Alm Munir ketika hendak berangkat ke Utrecht, Belanda guna menempuh studi masternya masih menyimpan banyak tanya. Dalam perjalananya mencari kejelasan, sosok Suciwati tak pernah kendur ataupun gentar sekalipun. Wanita kelahiran Malang ini tak heni mencari kebenaran, mengusut apa yang terjadi dibalik peristiwa yang menimpa almarhum suaminya. Bergerak bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), wanita kelahiran 1968 ini berupaya menggebah ketidakadilan yang tercium dibalik kasus wafatnya pejuang hukum imparsial di Indonesia ini. Berdirinya Omah Munir, sebuah rumah yang dibangun terletak pada kawasan Batu, Malang yang menyimpan seluruh memorabilia perjuangan sosok Alm Munir, atas inisiasinya merupakan langkah konsisten sosok ibu dengan dua anak ini untuk tegas menyuarakan #MenolakLupa atas ketidakadilan yang terjadi.

                                                               ***

“Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang; jalan itu berbatu-batu, berjendul-jendul, licin… belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai di ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia”, tulis Raden Ajeng Kartini dalam suratnya kepada Nyonya RM Abendanon-Mandri, pada 7 Oktober 1900. Atas apa yang telah dicontohkan oleh seorang pemudi yang upayanya memperjuangkan emansipasi selalu diperingati tiap tanggal 21 April, tentu indah apabla wanita Indonesia mampu berdaya dengan memegang teguh apa yang menjadi prinsipnya, untuk kemudian berlanjut berjuang hingga titik darah penghabisan.

Selamat Hari Kartini bagi seluruh wanita-wanita hebat Indonesia. Kalian berada dalam posisi yang terhormat.




@aditmaulhas





Selasa, 19 April 2016

Hanacaraka Ajisaka Untuk Sepakbola Indonesia

Sama-sama punya kepentingan, sama-sama ingin menjaga pusaka, Dora dan Sembada akhirnya sama-sama tewas. Kematian keduanya diabadikan dengan syair yang menjadi tonggak budaya Jawa. Syair empat baris yang lestari hingga kini sebagai aksara dari bahasa Jawa, Hanacaraka.

Kisah keduanya tak ubahnya dengan pertikaian Menpora dan PSSI akhir-akhir ini. Sama-sama punya kepentingan dan ingin menjaga sepak bola, yang belakangan sudah menjadi kepentingan bangsa selayaknya pusaka.

Namun, pertikaian keduanya belum berakhir. Belum menghasilkan sesuatu yang menjadi tonggak sejarah mengubah dan membangkitan sepak bola Indonesia.

Syahdan, tersebutlah zaman dahulu sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang dipimpin Ajisaka. Dikisahkan, sepanjang upayanya menjadi raja, Ajisaka yang berasal dari Majethi itu mempunyai dua abdi kepercayaan, Dora dan Sembada.

Ajisaka kemudian merantau ke Medang Kamulan ditemani Dora. Sementara Sembada ditugaskan untuk tetap di Majheti guna menjaga keris pusaka yang sengaja ditinggalkannya. Ajisaka berwasiat pada Sembada agar tak menyerahkan keris itu kepada siapapun juga, kecuali Ajisaka sendiri.

Ditemani Dora, Medang Kamulan berhasil direbut Ajisaka dari Dewata Cengkar. Ia pun menjadi raja di sana.

Selayaknya budaya Jawa, seorang raja tanpa keris pusaka adalah pria tanpa kejantanan. Maka Ajisaka pun mengutus Dora ke Majheti untuk mengambil pusakanya.

Namun, kepulangan Dora ke Majheti guna mengambil pusaka itu malah tak diterima oleh Sembada yang masih memegang teguh pesan tuannya dulu agar pusaka itu tak lepas dari tangannya kecuali diambil Ajisaka sendiri. Mulai adu mulut mempertahankan prinsip tugasnya, perkelahian keduanya pun tak terelakkan. Keduanya pun sama-sama meregang nyawa.

Ajisaka mengenang dua abdinya itu dalam syair dengan deret aksara:

Hana caraka; ada dua utusan

Dora dan Sembada tiada bedanya dengan PSSI dan Menpora. Dua utusan yang sama-sama diberi tugas sama pentingnya. PSSI, sebagai sebuah organisasi induk dari persepakbolaan bumi pertiwi ini, adalah representasi dari ide luhur Soeratin untuk melestarikan dan mengembangkan sepak bola. Di lain sisi, Kemenpora merupakan perwakilan dari Pemerintahan, juga memiliki kewajiban untuk menjaga agar kesinambungan pembinaan olahraga Indonesia berjalan dalam lintasan yang benar.

Data sawala; yang saling berselisih

Dora dan Sembodo justru terjebak dalam konflik ketika mereka sama-sama menjaga warisan dari Ajisaka. Pun yang terjadi pada sepak bola Indonesia hari ini. Dua pihak yang berseteru sama-sama punya prinsip bahwa mereka sama-sama punya tanggung jawab untuk membawa olahraga yang dulunya dikenal sebagai sepakraga ini, menjaga dan melestarikan hingga menuju ke arah yang lebih baik.

Jika perselisihan dua utusan tadi karena tugas dari Ajisaka, konflik PSSI vs Menpora ini terjadi ketika sepak bola dirasa sudah menjadi kepentingan banyak orang. Desakan rakyat yang sudah jenuh dengan keringnya prestasi sepak bola Indonesia membuat Menpora mengambil langkah-langkah yang malah membuatnya berkonflik dengan PSSI.

Padha jayanya, sama kuat

Bukan sama-sama berjaya di akhir konflik, maksud baris ketiga dari Carakan Ajisaka ini lebih merujuk ke kekuatan Dora dan Sembada dalam pertarungan mereka. Kesaktian keduanya sama-sama kuat di mata Ajisaka. Karena ia lah yang tahu kapasitas keduanya dalam menyerap ilmu darinya.

Sama halnya dengan Menpora kali ini. Selain mendapat dukungan rakyat, Menpora sebagai staf pemerintahan juga memiliki kekuatan untuk ‘mengendalikan’ aparatur negara lainnya, dalam hal ini Kepolisian untuk tidak memberi ijin kepada PSSI untuk menjalankan liganya.

Sementara PSSI, kekuatan mereka terletak pada dasar berdirinya mereka. Sebagai federasi yang bercikal dari perkumpulan, mereka yang tidak bisa diintervensi pihak manapun. Hanya FIFA yang mampu meruntuhkan PSSI. Karena federasi sepak bola Indonesia ini anggota dari FIFA, yang notabene juga perkumpulan.

Baik Menpora dan PSSI saat ini, sama-sama kuat.

Maga bathanga, menjadi mayat

Akhir yang tragis dari upaya menjaga titah berupa pusaka, Dora dan Sembada sama-sama tewas. Tak ada pemenangnya. Namun, syair Ajisaka untuk mengenang mereka kemudian menjadi dasar budaya dari sebuah bahasa.

Sontak, bayangan tertuju pada konflik PSSI dan Menpora. Perselisihan antara mereka seolah tak ada akhir. Hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada titik terang yang diupayakan agar konflik ini bisa berakhir.

Tentu kita sama-sama tak ingin ‘kematian’ kedua institusi menjadi akhir konflik. Meskipun kita sama-sama ingin kebangkitan sepak bola bangsa ini bisa terwujudkan dan lestari nantinya. Laksana hanacaraka.

Harapan tertinggi dari kita semua adalah, kedua pemangku kebijakan olahraga paling populer di Indonesia ini adalah duduk bersama, satukan pikiran, dan yang paling penting, singkirkan ego dan kepentingan kelompok yang menunggangi niat luhur membangun sepakbola Indonesia. Semoga ini tidak menjadi harapan semata.





*) naskah ini sebelumnya pernah dimuat pada laman thefans.id yang kini telah tutup buku akibat mandeknya liga sebelum dimulai, karya tandem dengan rekan Angger Worodjati @anggeragr

Rabu, 06 Januari 2016

Surat dari Liverpool

Apa kabar, diri sendiri?

Sebuah pertanyaan yang acap kali kita lupa, yakni hal yang paling sederhana, menyapa diri kita sendiri.

Kadang, terlalu sibuknya menjalani kehidupan sehari-hari, dengan mudahnya saya lupa menanyakan kabar diri sendiri, dengan maksud melakukan refleksi, apa saja yang telah kita capai selama ini.

Satu hal yang saya sadari, dengan menyapa diri sendiri dengan menanyakan kabar, adalah cara untuk membuat diri tetap mawas diri, bersyukur atas apa yang telah dilakukan. Disamping itu, dengan menanyakan kabar, saya dapat mengoreksi kekurangan yang telah diperbuat, untuk kemudian memperbaikinya.

Momentum pergantian tahun adalah saat yang tepat untuk menanyakan kabar pada diri sendiri.


Berikut ini adalah jawaban atas apa-apa yang saya tanyakan kepada diri sendiri, momen apa saja yang perbuat selama 2015 lalu, untuk kemudian bersyukur seraya berupaya membuat capaian baru di tahun yang baru.


1.     Jatuh bangun untuk Beasiswa LPDP



Hampir setengah dari tahun 2015, fokus dan energi saya habiskan untuk berjuang demi mendapatkan beasiswa LPDP dari Pemerintah Indonesia. Setelah lulus dari bangku S1 pada 2014 silam, target yang saya buat dan tuliskan adalah melanjutkan studi ke jenjang S2, demi mewujudkan cita-cita saya sebagai Dosen.

Akhir 2014 saya sempat terpukul karena belum berhasil untuk mendapatkan beasiswa LPDP pada kesempatan pertama. Padahal, waktu itu saya sudah mengantongi Letter of Acceptance dari kampus di Inggris serta hasil IELTS, sebagai modal awal untuk bisa mengenyam pendidikan di luar negeri.

Dengan persiapan yang lebih serta didahului dengan memperbaiki performa, akhirnya saya kembali mendaftar beasiswa LPDP untuk kali kedua pada Februari 2015. Alhamdulillah, pada kesempatan kedua ini usaha dan doa saya dikabulkan oleh Allah SWT. Saya ditetapkan lulus sebagai penerima beasiswa LPDP dari Pemerintah Republik Indonesia.

Tahun 2015 merupakan tahun perjuangan, untuk mewujudkan mimpi saya, melanjutkan studi S2 di luar negeri dengan beasiswa LPDP.



2.     Menemukan Passion di Social Media




Bagi sebagian orang, social media hanyalah sebatas piranti untuk mengungkapkan perasaan dan membagi foto-foto pribadi belaka. Namun, bagi saya, social media lebih itu. Social media punya kekuatan tersendiri untuk berbagi insipirasi, termasuk di dalamnya memberikan kebermanfaatan bagi semua.

Dunia social media semakin membuat saya jatuh cinta, ketika proses pembelajaranya menuai sukses. Pada 2015, dengan diberinya kesempatan untuk belajar di alma mater, sebagai social media manager akun social media kampus UMYogya, saya semakin menyadari bahwa salahsatu passion saya ada di dunia digital ini.

Banyak project yang saya lalui bersama UMYogya. Tak hanya melalui twitter, namun merambah pada penggunaan social media yang lain seperti Instagram maupun Facebook page. Seiring dengan semakin seringnya saya menggunakan social media, saya menyadari bahwa social media ini amat sangat berguna untuk branding sebuah institusi.

Unsur kebermanfaatan bagi semua dari social media, bagi saya pribadi, terwujud berkat project #KopdarAdmin. Dalam project ini saya berbagi dengan Admin media social dari berbagai Fakultas di UMYogya, tentang pengunaan social media yang tepat guna.


3.     Menggiatkan Literasi Sepak Bola bersama The FANS





Sepak bola merupakan olahraga yang membuat saya jatuh cinta. Permainan 11 lawan 11 selama 90 menit ini membuat saya betah berlama-lama menguliknya, mulai dari bermain, menonton pertandinganya, hingga menelaahnya dari berbagai sisi melalui tulisan. Di tahun 2015 saya berkesempatan untuk menggiatkan literasi sepak bola di ranah tanah air, bersama The FANS.

Bersama The FANS, saya belajar banyak bagaimana sepak bola dapat dianalisis melalui statistik. Alasan mengapa sebuah tim bisa menang dalam suatu pertandingan ataupun seorang pemain memiliki performa yang bagus, dapat ditelisik melalui deretan angka yang kemudian dinarasikan.

Ujaran mengatakan bahwa pekerjaan yang paling menyenangkan adalah ketika melakukan hobi yang dibayar. Pun dengan apa yang saya lakukan bersama The FANS, menonton pertandingan sepak bola dari Liga Indonesia, waktu itu bernama QNB League, merupakan pekerjaan saya sehari-hari.

Sayang, liga berhenti ditengah jalan akibat sanksi FIFA kepada PSSI. Begitupula dengan kisah saya di The FANS, yang berhenti ketika baru berjalan sekitar empat bulan. Namun di balik itu semua, saya melihat bahwa literasi sepak bola di tanah air mulai menggeliat seiring dengan naik daunya genre football writing.

4.   Bertemu sosok inspiratif; Anies Baswedan, Zen RS, Pangeran Siahaan, Rene Suhardono, dan Butet Manurung.







Bertemu dengan sosok inspiratif bagi saya adalah sarana untuk mengisi ulang semangat kita. Tahun 2015 memberikan saya kesempatan bertemu beberapa tokoh inspiratif, yang sedikit banyak menginspirasi saya dalam mengembangkan diri.

Anies Baswedan adalah alasan kenapa saya terus optimis bahwa Indonesia kelak akan berkembang lebih baik. Sosok beliau menginspirasi saya untuk percaya bahwa ditangan anak muda, masa depan perpolitikan Indonesia sedikit banyak akan bergeser ke arah yang bersih. Visinya untuk melunasi janji kemerdekaan membuat saya terpanggil untuk bercita-cita sebagai dosen.

Suatu siang yang berkesan di Bandung, ketika saya bertemu dengan Zen RS dan Pangeran Siahaan, dua tokoh yang menginspirasi pembelajaran saya di dunia kepenulisan. Mas Zen, yang merupakan salahsatu pegiat literasi sepak bola dengan pandit football, sedikit banyak mempengaruhi gaya kepenulisan saya, dengan menitikberatkan pada unsur detail, hadir pada momen ide tulisan, serta bernas dengan cuplikan sejarah. Sebaliknya, Pange, membuat saya berpikir untuk menjadikan menulis sebagai sarana bertahan ditengah derasnya kemajuan media saat ini.

Rene Suhardono menginspirasi saya untuk ikuti apa yang menjadi passion kita. Melalui tulisan dan paparan kelasnya, sosok Rene Suhardono mengarisbawahi pentingnya passion sebagai kunci bahagia dalam hidup. 

Pertemuan dengan Butet Manurung, yang sukses merintis sekolah bagi anak-anak pedalaman dengan Sokola Rimba, menguatkan hati saya untuk berada di jalan yang sepi pada ranah kerelawanan. 


5.     Mimpi itu terwujud, menjejakkan kaki di Liverpool



Liverpool, yang bermula dari kecintaan saya terhadap klub sepak bolanya, lalu berlanjut pada jatuh hati kepada kota seisinya. Akhirnya saya dapat menjejakkan kaki di kota yang dijuluki sebagai “The City of Culture”. Menikmati kehidupan bersama masyarakat local, termasuk belajar aksen Inggris mereka yang termasyhur itu, Scouse.



6.     Mengawali untuk memasak



Mungkin ini adalah sisi humanis dari Mahasiswa di Negara perantauan. Dengan segenap tekad, saya memulai untuk belajar memasak. Tak pernah sebelumnya memasak, sehingga membutuhkan pembelajaran dari titik yang paling dasar.

Dimulai dari sekadar menanak nasi mengunakan rice cooker, hingga membuat sup setelah menonton tutorialnya di youtube. Hingga yang paling kompleks sejauh ini, memasak ayam dan daging dengan bumbu peri-peri.

Semoga awalan untuk memasak ini akan terus menghasilkan resep-resep baru, tentunya.


7.     Menonton langsung di Anfield.



Tibalah juga kesempatan itu, menonton klub eropa favorit saya, Liverpool FC. Resmi sudah saya bukan lagi penonton layar kaca.

Merinding rasanya ketika merasakan dengan sekujur tubuh, anthem “You’ll Never Walk Alone dinyanyikan seiisi stadion. Dan, ya, menonton pertandingan di Anfield adalah sebuah paket lengkap.


8.     Menulis untuk laman football writing nomor satu di Indonesia



Pengalaman menonton pertandingan di Anfield semakin lengkap ketika tulisan saya dimuat pada Indonesian top leading website in football writing, panditfootball.com.

Semoga ini menjadi pemicu semangat untuk bisa konsisten menulis tentang sepak bola, dari sudut pandang apapun.


9.     Merasakan  salju




Selayaknya penduduk yang lama bermukim di daerah tropis, pasti terbesit suatu keinginan untuk merasakan musim yang khas dari benua Eropa, yakni musim salju.

Bertemu salju untuk kali pertama adalah merayakan bertemunya rasa penasaran dengan realita. Tak dihiraukan lagi dingin suhu waktu itu, sedang yang ada dipikiran adalah memegangnya, bahkan mencoba untuk bermain denganya.

Perjalanan untuk bertemu salju kali ini memiliki kesan. Memerlukan perjalanan hingga ke daerah utara Skotlandia, tepatnya di Glenshee, untuk dapat bertemu salju.







Dari semua pencapaian yang telah dilalui, saya bersyukur dengan setiap peristiwa yang terjadi di tahun 2015.

Mari kita bersama-sama songsong 2016, dengan tetap belajar lebih banyak, untuk capaian berikutnya.


Liverpool, 5 Januari 2016

@aditmaulhas