Jumat, 22 April 2016

Wanita Berdaya untuk Hal yang Hakiki


Yang membuat wanita berdaya adalah ketika ia yakin akan satu hal, kemudian memegang teguh hal tersebut untuk berlanjut memperjuangkanya.

Berbicara mengenai Hari Kartini, dewasa ini bukan lagi seremonial berupa wanita yang mengenakan kebaya untuk memperingati hari tersebut. Ada yang lebih menarik dari sekadar seremonial yang dikemas mengenakan kain yang tampak indah sedemikian rupa. Hari ini, Hari Kartini pantaslah diingat dalam wujud menapak tilas bagaimana perjuangan luhur seorang pemudi bangsa, yang menginspirasi melalui perjuanganya menegakkan emansipasi.

Untuk saat ini, patutlah kita angkat topi pada perjuangan ibu-ibu petani Kendeng yang memperjuangkan kelestarian lingkungan, ibu Suciwati yang tegas menolak lupa akan kejelasan kasus suaminya Alm Munir, dan ibu Sumarsih yang tetap teguh dalam diamnya tiap Kamis di depan Istana Negara, demi titik terang pengakuan dari Pemerintah atas wafatnya sang anak akibat tragedi 1998.

Ketiganya punya persamaan: mereka yakin pada satu hal yang hakiki dan untuk berdaya mereka terus memperjuangkanya karena benar.

Ibu-ibu petani dari dusun Kendeng, Jawa Tengah ini adalah representasi bagaimana untuk peduli terhadap lingkungan bisa dilakukan segera dari diri sendiri tanpa banyak acap kata. Lahan yang selama ini makmur ijo royo-royo, tiba-tiba terdesak atas rencana dibangun pabrik semen tepat di atasnya. Tak pelak, ada hak-hak petani yang tiba-tiba tercerabut. Tanah yang terletak di daerah Kabupaten Pati Selatan ini patut diperjuangkan bagi ibu-ibu Petani Kendeng ini. Namun yang menarik, aksi yang perlawanan menuntut hak yang mereka lakukan tak ingin dilalui dengan cara kekerasan. Mereka, ibu-ibu petani dari Dusun Kendeng itu melawan dengan aksi teatrikal, memasung kaki dalam sebuah adonan semen. Apa yang dilakukan oleh ibu-ibu Petani yang memperjuangan lahan yang di dalamnya terdapat 112 mata air ini patutlah kita hormati dengan khidmat.

Maria Katarina Sumarsih, atau biasa disapa ibu Sumarsih ini merupakan salahsatu wanita yang tegar di Indonesia. Anaknya bernama Wawan menjadi korban pada kejadian yang menjadi sejarah kelam bagi bangsa ini, yakni tragedi 1998. Bagaimana duduk perkara anaknya menjadi korban pada keributan yang terjadi bulan Mei 18 tahun silam. Saat ini, beliau tak henti memperjuangkan hak apa yang keluarganya alami melalui aksi diam tiap hari kamis di depan Istana Negara, atau yang lebih familiar dikenal dengan aksi Kamisan. Tiap kamis, ibu Sumarsih tak sendiri namun bersama dengan para keluarga yang menjadi korban keganasan aksi 1998, sama-sama melakukan aksi bisu menuntut hak impunitas itu. Sungguh, keteguhan hati seorang ibu Sumarsih memperjuangkan janji pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, hingga menyentuh aksi kali ke 438 hingga hari ini, patut kita hargai.

Dibalik kampanye #MenolakLupa, ada satu sosok yang selalu berada di garda depan yang dengan lantang menyuarakan tuntutan itu. Ialah tak lain tak bukan adalah seorang ibu Suciwati, istri dari Alm Munir, aktivis HAM yang dikenal cukup vokal itu. Seperti yang kita tahu bersama, kasus wafatnya Alm Munir ketika hendak berangkat ke Utrecht, Belanda guna menempuh studi masternya masih menyimpan banyak tanya. Dalam perjalananya mencari kejelasan, sosok Suciwati tak pernah kendur ataupun gentar sekalipun. Wanita kelahiran Malang ini tak heni mencari kebenaran, mengusut apa yang terjadi dibalik peristiwa yang menimpa almarhum suaminya. Bergerak bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), wanita kelahiran 1968 ini berupaya menggebah ketidakadilan yang tercium dibalik kasus wafatnya pejuang hukum imparsial di Indonesia ini. Berdirinya Omah Munir, sebuah rumah yang dibangun terletak pada kawasan Batu, Malang yang menyimpan seluruh memorabilia perjuangan sosok Alm Munir, atas inisiasinya merupakan langkah konsisten sosok ibu dengan dua anak ini untuk tegas menyuarakan #MenolakLupa atas ketidakadilan yang terjadi.

                                                               ***

“Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang; jalan itu berbatu-batu, berjendul-jendul, licin… belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai di ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia”, tulis Raden Ajeng Kartini dalam suratnya kepada Nyonya RM Abendanon-Mandri, pada 7 Oktober 1900. Atas apa yang telah dicontohkan oleh seorang pemudi yang upayanya memperjuangkan emansipasi selalu diperingati tiap tanggal 21 April, tentu indah apabla wanita Indonesia mampu berdaya dengan memegang teguh apa yang menjadi prinsipnya, untuk kemudian berlanjut berjuang hingga titik darah penghabisan.

Selamat Hari Kartini bagi seluruh wanita-wanita hebat Indonesia. Kalian berada dalam posisi yang terhormat.




@aditmaulhas





Selasa, 19 April 2016

Hanacaraka Ajisaka Untuk Sepakbola Indonesia

Sama-sama punya kepentingan, sama-sama ingin menjaga pusaka, Dora dan Sembada akhirnya sama-sama tewas. Kematian keduanya diabadikan dengan syair yang menjadi tonggak budaya Jawa. Syair empat baris yang lestari hingga kini sebagai aksara dari bahasa Jawa, Hanacaraka.

Kisah keduanya tak ubahnya dengan pertikaian Menpora dan PSSI akhir-akhir ini. Sama-sama punya kepentingan dan ingin menjaga sepak bola, yang belakangan sudah menjadi kepentingan bangsa selayaknya pusaka.

Namun, pertikaian keduanya belum berakhir. Belum menghasilkan sesuatu yang menjadi tonggak sejarah mengubah dan membangkitan sepak bola Indonesia.

Syahdan, tersebutlah zaman dahulu sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang dipimpin Ajisaka. Dikisahkan, sepanjang upayanya menjadi raja, Ajisaka yang berasal dari Majethi itu mempunyai dua abdi kepercayaan, Dora dan Sembada.

Ajisaka kemudian merantau ke Medang Kamulan ditemani Dora. Sementara Sembada ditugaskan untuk tetap di Majheti guna menjaga keris pusaka yang sengaja ditinggalkannya. Ajisaka berwasiat pada Sembada agar tak menyerahkan keris itu kepada siapapun juga, kecuali Ajisaka sendiri.

Ditemani Dora, Medang Kamulan berhasil direbut Ajisaka dari Dewata Cengkar. Ia pun menjadi raja di sana.

Selayaknya budaya Jawa, seorang raja tanpa keris pusaka adalah pria tanpa kejantanan. Maka Ajisaka pun mengutus Dora ke Majheti untuk mengambil pusakanya.

Namun, kepulangan Dora ke Majheti guna mengambil pusaka itu malah tak diterima oleh Sembada yang masih memegang teguh pesan tuannya dulu agar pusaka itu tak lepas dari tangannya kecuali diambil Ajisaka sendiri. Mulai adu mulut mempertahankan prinsip tugasnya, perkelahian keduanya pun tak terelakkan. Keduanya pun sama-sama meregang nyawa.

Ajisaka mengenang dua abdinya itu dalam syair dengan deret aksara:

Hana caraka; ada dua utusan

Dora dan Sembada tiada bedanya dengan PSSI dan Menpora. Dua utusan yang sama-sama diberi tugas sama pentingnya. PSSI, sebagai sebuah organisasi induk dari persepakbolaan bumi pertiwi ini, adalah representasi dari ide luhur Soeratin untuk melestarikan dan mengembangkan sepak bola. Di lain sisi, Kemenpora merupakan perwakilan dari Pemerintahan, juga memiliki kewajiban untuk menjaga agar kesinambungan pembinaan olahraga Indonesia berjalan dalam lintasan yang benar.

Data sawala; yang saling berselisih

Dora dan Sembodo justru terjebak dalam konflik ketika mereka sama-sama menjaga warisan dari Ajisaka. Pun yang terjadi pada sepak bola Indonesia hari ini. Dua pihak yang berseteru sama-sama punya prinsip bahwa mereka sama-sama punya tanggung jawab untuk membawa olahraga yang dulunya dikenal sebagai sepakraga ini, menjaga dan melestarikan hingga menuju ke arah yang lebih baik.

Jika perselisihan dua utusan tadi karena tugas dari Ajisaka, konflik PSSI vs Menpora ini terjadi ketika sepak bola dirasa sudah menjadi kepentingan banyak orang. Desakan rakyat yang sudah jenuh dengan keringnya prestasi sepak bola Indonesia membuat Menpora mengambil langkah-langkah yang malah membuatnya berkonflik dengan PSSI.

Padha jayanya, sama kuat

Bukan sama-sama berjaya di akhir konflik, maksud baris ketiga dari Carakan Ajisaka ini lebih merujuk ke kekuatan Dora dan Sembada dalam pertarungan mereka. Kesaktian keduanya sama-sama kuat di mata Ajisaka. Karena ia lah yang tahu kapasitas keduanya dalam menyerap ilmu darinya.

Sama halnya dengan Menpora kali ini. Selain mendapat dukungan rakyat, Menpora sebagai staf pemerintahan juga memiliki kekuatan untuk ‘mengendalikan’ aparatur negara lainnya, dalam hal ini Kepolisian untuk tidak memberi ijin kepada PSSI untuk menjalankan liganya.

Sementara PSSI, kekuatan mereka terletak pada dasar berdirinya mereka. Sebagai federasi yang bercikal dari perkumpulan, mereka yang tidak bisa diintervensi pihak manapun. Hanya FIFA yang mampu meruntuhkan PSSI. Karena federasi sepak bola Indonesia ini anggota dari FIFA, yang notabene juga perkumpulan.

Baik Menpora dan PSSI saat ini, sama-sama kuat.

Maga bathanga, menjadi mayat

Akhir yang tragis dari upaya menjaga titah berupa pusaka, Dora dan Sembada sama-sama tewas. Tak ada pemenangnya. Namun, syair Ajisaka untuk mengenang mereka kemudian menjadi dasar budaya dari sebuah bahasa.

Sontak, bayangan tertuju pada konflik PSSI dan Menpora. Perselisihan antara mereka seolah tak ada akhir. Hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada titik terang yang diupayakan agar konflik ini bisa berakhir.

Tentu kita sama-sama tak ingin ‘kematian’ kedua institusi menjadi akhir konflik. Meskipun kita sama-sama ingin kebangkitan sepak bola bangsa ini bisa terwujudkan dan lestari nantinya. Laksana hanacaraka.

Harapan tertinggi dari kita semua adalah, kedua pemangku kebijakan olahraga paling populer di Indonesia ini adalah duduk bersama, satukan pikiran, dan yang paling penting, singkirkan ego dan kepentingan kelompok yang menunggangi niat luhur membangun sepakbola Indonesia. Semoga ini tidak menjadi harapan semata.





*) naskah ini sebelumnya pernah dimuat pada laman thefans.id yang kini telah tutup buku akibat mandeknya liga sebelum dimulai, karya tandem dengan rekan Angger Worodjati @anggeragr