Senin, 12 Oktober 2015

Satu Tahun Kedepan Menjadi Liverpudlian





“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu”


Berawal dari mimpi untuk menuntut ilmu di belahan bumi Eropa, yang ditambah dengan keinginan untuk menyaksikan langsung klub sepak bola favorit saya sedari kecil, semuanya bermula. Liverpool, sebuah kota yang kaya akan budaya, lingkungan yang terpusat dan tentu saja, sejarah sepak bola yang kuat, saya menaruh asa saya untuk bisa mengunjungi kota tersebut. Dan benar saja, selaras dengan quote Arai dalam buku “Sang Pemimpi”, Tuhan akhirnya memeluk mimpi saya, menjadikanya nyata, hingga saat ini saya telah sampai di daratan Merseyside.

Perjalanan menuju kota yang menasbihkan dirinya sebagai “The City of Culture” ini saya lalui dengan lika-liku yang amat beragam, layaknya roller coaster. Ada proses disana, yang penuh penempaan diri, sebelum tiba di tempat tujuan.

Semua dimulai pada pertengahan 2014, tepatnya di bulan April, saya memulainya. Tak main-main, urutanya bertahap, mulai dari mempersiapkan diri untuk tes IELTS hingga menempa diri agar layak untuk bisa lolos seleksi, mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia yakni Beasiswa Pendidikan Indonesia Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (BPI LPDP).

Teringat ujaran dari salahsatu bapak ideologis dari Indonesia, Tan Malaka, yakni “terbentur, terbentur, terbentur, kemudian terbentuk”, maka begitupula apa yang terjadi dalam perjuangan saya untuk mencapai tanah Britania Raya. Di awal, saya sempat gagal untuk lolos seleksi beasiswa LPDP. Namun, berkat keyakinan yang terus saya aminkan tiap doa saya, kesempatan itu kembali terbuka.

Atas dasa resistensi untuk tak mudah menyerah, usaha saya terbayarkan dengan lolos sebagai salahsatu penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia Luar Negeri LPDP, di kesempatan yang kedua, medio Juni 2015.

Meminjam pemikiran dari Dwi Tunggal Indonesia yang saya sangat kagumi, Muhammad Hatta, bahwa menuntut ilmu di negeri orang adalah sebuah perjuangan. Maka dari itu, perjuangan saya belumlah berhenti sampai disini, namun masih akan dimulai.

Kembali, berdasar apa yang dijadikan ideologi oleh bung Hatta, bahwa kesempatan untuk belajar di luar negeri janganlah sampai terbuai, namun hendaknya terus bergerak. Itulah yang akan saya jadikan landasan selama saya mengenyam pendidikan di kota pelabuhan ini.

Konteks pembelajaran saya disini pun jauh lebih luas. Yang paling utama tentunya, ilmu dari ranah hubungan internasional. Pembelajaran tentang bagaimana system internasional berjalan, usaha untuk mencapai keadaan damai melalui resolusi konflik, dan yang sangat khas, menelaah pemikiran politik dari sudut pandang intelektual Inggris Raya, akan mewarnai dinamika setahun kedepan.

Disamping itu, pembelajaran dari sisi kehidupan juga akan saya terima, meliputi hal untuk membiasakan mendengarkan aksen Bahasa inggris yang khas dari Liverpudlian, Scouse, yang sedikit banyak bercampur dengan aksen Scottish hingga menjaga pola makan dengan menikmati makanan hal dan berusaha untuk memasak.

Dengan suasana khas kota maritim, pepatah “laut yang tenang tidak akan menghasilkan pelaut yang handal”, amatlah cocok untuk menggambarkan bagaimana perjuangan saya disini nantinya. Yang pasti, tujuan besar itu, untuk bertanggung jawab, menuntut ilmu dan kembali ke haribaan ibu pertiwi, membangun bangsa harus tetap dipegang teguh.

Satu tahun kedepan menjadi Liverpudlian, menuntut llmu, demi bekal untuk Indonesia yang lebih baik kelak.




@aditmaulhas 





Kamis, 08 Oktober 2015

Persiapan Keberangkatan LPDP dan Refleksi Perjuangan Literasi Butet Manurung

Butet Manurung di sharing session PK 35 LPDP

foto via @najmulaila




Sebuah program yang dikhususkan untuk para penerima beasiswa LPDP sebelum menempuh studinya, atau biasa disebut sebagai “Persiapan Keberangkatan” yang disingkat PK, ternyata tak hanya sekadar seremonial belaka. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur khas Indonesia, seperti integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan. Selama lima hari, mulai 3 hingga 8 Agustus 2015, tak ada kesan digurui ataupun pemaksaan, namun penguatan kapasitas diri untuk mengimplementasikan nilai tersebut.

Saya bersyukur, bisa mengikuti sebuah acara yang dibuat oleh LPDP, agar para penerima beasiswanya tak lupa asal-usul kebhinekaanya. Kebahagiaan itu semakin lengkap, dengan bisa langsung mendengarkan pemaparan seseorang yang saya kagumi karena perjuanganya di bidang literasi, Butet Manurung, dengan pengabdianya membangun Sokola Rimba.

Dalam satu sesi dalam PK LPDP, yakni sharing bersama tokoh, Butet Manurung hadir sebagai representasi dari nilai nasionalisme. Dalam kurang lebih dua jam pemaparanya, sosok yang pernah mengenyam studi master di Australian National University ini mengetengahkan tema refleksi merah putih, yang terwujud dalam pengabdianya mengelola sekolah bagi anak di daerah pedalaman Indonesia.

Berawal dari kegemaranya berpetualang, mulai dari mendaki gunung hingga arung jeram, wanita yang bernama asli Saut Marlina Manurung ini kemudian berefleksi untuk mengabdikan dirinya dalam dunia literasi. Pemikiranya sebagai seorang penjelajah yakni “petualang yang keren adalah petualang yang bermanfaat bagi orang lain”, cukup mengusik pikiran saya pada waktu itu. Disaat dewasa ini berkembang tren naik gunung hanya untuk eksis semata dengan menggunggah foto di media sosial, Butet Manurung telah berpikir visioner. Benar saja, ide brilianya untuk membangun Sokola Rimba tercetus saat dirinya melakukan pendakian di Papua.

Perjuangan wanita 43 tahun ini dalam mengembangkan Sokola Rimba dilakukanya dengan sepenuh hati. Totalitasnya dibuktikan dengan ikut tinggal di daerah pedalaman Jambi, tempat sekolah yang ia bangun di wilayah Suku Kubu berdiam. Terhitung pada tahun 1999, Butet Manurung mendirikan sekolah bagi anak pedalaman yang diberi nama “Sokola Rimba”, dengan materi literatif melalui baca tulis, memberikan pengetahuan tentang dunia luar (pakaian dan sopan santun), serta edukasi tentang sanitasi dan kesehatan.

Dalam perjalananya, Sokola Rimba yang dirintis oleh dara asli Batak ini sempat mengalami pasang surut. Mulanya apa yang dilakukan Butet Manurung, melakukan pendidkan literasi dengan mengajar baca tulis, dianggap salah oleh Kepala Suku Kubu. Keberadaanya di pedalaman Jambi pada bulan pertama amat tak nyaman, dengan penerimaan negatif yang kerap kali diterimanya. Titik terang akan kelangsungan Sokola Rimba mulai muncul ketika Gentar, murid pertamanya, mampu menyerap pendidikan literasi yang ia berikan, walaupun dalam proses belajarnya yang harus secara sembunyi-sembunyi. Alhasil, melalui momen dimana murid dari Sokola Rimba sukses mengagalkan surat kontrak yang merugikan Suku Kubu, dengan cakapnya mereka membaca, lambat laun Butet diterima dan leluasa untuk mengembangkan sekolah rintisan ideologisnya.

Tak hanya berhenti dengan pendidikan literasi, sosok yang mendapatkan Heroes of Asia Award 2004 dari majalah TIME ini juga mengembangkan arah perjuanganya ke pemberdayaan masyarakat. Suku Kubu di Jambi juga ia bina dengan sepenuh hati. Dengan keberanianya untuk membaur dan hidup bersama masyarakat adat setempat, perlahan-lahan dirinya memberdayakan masyarakat dengan bekal ilmu di ranah antropologi. Target besarnya yang secara gamblang ia sampaikan adalah bagaimana Sokola Rimba dapat memberdayakan masyarakat melalui advokasi dan akses terhadap fasilitas umum. Unsur keberlanjutan program sekolah bagi masyarakat pedalaman ini juga menjadi perhatian Butet Manurung, dengan memberikan pelatihan agar kelak tumbuh kader dari masyarakat setempat, berperan sebagai guru.

Apa yang dilakukan oleh Butet Manurung ini, bagi saya, adalah contoh nyata dari sebuah refleksi nilai nasionalisme. Perjuanganya dibidang literasi, dengan mengajarkan baca tulis dan ilmu pengetahuan dengan membuat sekolah bagi anak-anak di pedalaman Indonesia, adalah wujud nyata untuk terus berjuang pada era dewasa ini. Contoh yang diberikan oleh wanita Indonesia bermarga Manurung ini telah menginsiprasi saya ketika mengenyam pendidikan S2 di Inggris nanti, akan menyerap ilmu sebanyak-sebanyak untuk kemudian bisa berbagi pada ranah literasi.


Persiapan Keberangkatan LPDP dan pertemuan dengan sosok Butet Manurung disalahsatu sesinya telah membuat saya mengerti lebih dalam tentang arti berjuang di jalan literasi. Teringat akan ujaran terkenal dari bapak proklamator kita, Ir Soekarno, bahwa perjuangan kita dikemudian hari bukanlah melawan penjajah melainkan menggebah kebodohan, maka berjuang di jalan literasi merupakan sebuah perjuangan melawan kebodohan itu sendiri.