Kamis, 14 November 2013

PSS Sleman Membina Kemandirian Menjadi Juara

             Setelah puasa gelar selama 37 tahun akhirnya rakyat Sleman berpesta. Dahaga akan gelar yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tuntas di tebus tepat pada Hari Pahlawan Nasional. Melalui partai final yang cukup sengit hingga perpanjangan waktu, skor 2-1 menjadi bukti kesuksesan PSS Sleman menggondol gelar juara Divisi Utama LPIS setelah mengalahkan Lampung FC. Sontak setelah peluit akhir babak perpanjangan waktu ditiupkan suporter Sleman tumpah ruah ke dalam stadion. Mereka seakan tidak peduli dengan pagar pembatas, yang mereka inginkan adalah memeluk para pemain PSS Sleman yang menjadi pahlawan versi mereka pada waktu itu.
            Namun dibalik euforia juara PSS Sleman yang memutus dahaga gelar, masih banyak pihak yang menyangsikan apakah benar-benar gelar tersebut layak buat pasukan Sembada. Seperti bias berhembus di sepakbola nasional isu akan pesanan gelar juara sudah di setting sebelumnya turut menyeruak. Hal ini sempat dicurigai mengingat venue semifinal dan final di gelar di stadion Maguwoharjo yang notabene kandang PSS Sleman. Keraguan publik akan gelar Divisi Utama LPIS bertambah ketika seremoni distribusi gelar. Tak ada perwakilan dari PSSI yang hadir pada partai final, justru Bupati Sleman Sri Purnomo yang memberikan trofi. Trofi yang dibuat pun di sinyalir mendadak dibuat. Dan yang lebih parahnya lagi tak ada nominal hadiah uang yang diberikan bagi sang kampiun. Fakta-fakta diatas seolah mengerucut pada kesimpulan bahwa kompetisi Divisi Utama LPIS 12/13 ini semacam kompetisi “dagelan” yang sekenanya dibuat asal memeras keringat.

Kapten PSS Sleman, Anang Hadi, mengangkat trofi juara Divisi Utama LPIS 2012/2013

foto via @elja_kaskus

              Kegamangan atas gelar juara kompetisi yang dianggap abal-abal secara tidak langsung mengurangi kualitas gelar yang di dapat dari PSS Sleman. Namun yang perlu dipahami adalah gelar juara yang diraih bukan hanya juara biasa yang didapat dengan perjuangan di atas lapangan hijau. Lebih dari itu, PSS Sleman meraih gelar juara Divisi Utama LPIS 12/13 adalah buah dari hasil kerja keras dari setiap elemen yang ada di dalamnya. Mulai dari pemain, tim kepelatihan, manajemen, hingga loyalitas tanpa batas dari suporter setia PSS Sleman. Jika dirangkum dalam satu kata, kemandirian adalah jawabanya. Selama musim kompetisi 2012/2013 punggawa Sembada menunjukkan nilai kemandirian tersebut.
          Segi finansial paling menonjol dalam nilai kemandirian yang ditunjukkan PSS Sleman selama kompetisi musim 12/13. Tak ada ceritanya manajemen menunggak pembayaran gaji tiap bulan. Padahal, hal ini menjadi masalah laten persepakbolaan di Indonesia. ditambah lagi tak ada utang yang tersisa di akhir kompetisi. Mengapa dari segi finansial PSS Sleman di musim ini begitu rapi? Kemandirian mencari sumber dana menjadi kunci. Di musim 12/13 ini PSS Sleman tak lagi bergantung pada dana APBD dari kab Sleman namun mulai mencari jalan alternatif untuk mandiri mencari pemasukan. Inovasi melalui PSS Store yang menjual jersey original, merchandise hingga peralatan suporter yang ditemani oleh Curva Sud Store membuahkan hasil menyediakan dana alternatif buat PSS Sleman. Bahkan menurut laporan di akhir musim, suporter Sleman turut memberikan royalti kepada klub sebesar 75 juta dalam satu musim. Jelas angka yang cukup besar untuk pemasukan klub. Jumlah tersebut usaha lain seperti angkringan yang di balut suasana PSS dalam Elja Ngangkring.
             Kemandirian para suporter cukup memberi andil untuk PSS Sleman juara di musim ini. Baik itu dari Slemania dan Brigata Curva Sud sangat rapi terkonsep dalam memberikan loyalitas tanpa batas. Seruan “no ticket no game” terbukti cukup ampuh untuk membuat mandiri para suporter Sleman membeli tiket di tiap pertandingan home tanpa melalui calo. Pemasukan tiket pun meningkat dan hampir tak ada tribun kosong ketika pertandingan home. Bahkan lewat kemandirian suporter Sleman pula, jersey yang dikenakan para pemain muncul. Keputusan yang diambil oleh manajemen mengenai hal ini sangatlah tepat. Suporter semakin menanamkan sense of belonging kepada klub kebanggaanya karena mereka turut dilibatkan dalam proses perjalanan klub.
            Tak boleh dilupakan pula inovasi dari segi media menjadi hal yang begitu menonjol pada kemandirian PSS Sleman untuk menjadi juara di musim ini. Media yang dulunya tidak begitu diperhatikan dalam perjalanan kompetisi menjadi berkembang pesat pada musim ini. Diawali oleh kemunculan Elja Radio, yakni live report pertandingan home dan wawancara langsung pemain melalui akses radio semakin menggemakan chant PSS Sleman ke nasional bahkan hingga mancanegara.  Terlebih lagi adanya media online bertajuk Bal-balan ID semakin mengepakkan sayap media PSS Sleman dengan menyediakan data statistik pertandingan komprehensif, suatu hal yang sedang naik daun akhir-akhir ini sebagai pelengkap kenikmatan mengamati sepakbola.
                Teringat akan ujaran yang tersebut dalam acara “Galeri Sepakbola Indonesia” : "Juara sejati, ialah yang bisa menyelesaikan kompetisi secara realistis tanpa tunggakan gaji yang menyengsarakan pemain." PSS Sleman bukan hanya sekedar juara Divisi Utama LPIS 12/13 diatas lapangan saja. PSS Sleman telah sukses mengawali dengan membina kemandirian menjadi juara.


@aditmaulhas

                

Minggu, 01 September 2013

Cukup Menjadi Penonton Layar Kaca untuk Laga Tur Pra-Musim Klub Eropa

Musim panas yang amat terik di eropa menjadi awal langkah klub sepakbola eropa untuk memulai bersiap menjelang musim liga yang baru. Perpindahan pemain dalam transfer window turut berperan dalam persiapan menjelang liga baru. Aksi jula peli pemain guna memperkuat segala lini menjadi hal yang taktis untuk meraih kesuksesan di Liga yang akan segera bergulir. Tak jarang harga gila-gilaan atau overrated kerap kali muncul saat pintu transfer window dibuka.
Selain transfer window yang selalu dijadwalkan oleh director club of football sebuah klub Liga Eropa, laga persiapan sebagai ujicoba menjadi hal yang tak boleh dikesampingkan. Laga pra-musim ini tak ayal menjadi ajang ujicoba rekrutan baru di transfer window dan sebagai tolok ukur kekompakan sebuah tim, apakah telah siap tanding dalam perjalanan liga yang begitu ketat. Bentuk laga pra-musim ini pun dikemas secara beragam. Mulai dari sekedar laga ujicoba sebagai kewajiban yang tertulis dalam klausul kontrak transfer pemain, laga testimonial mengenang pemain legenda, sebuah turnamen yang hanya berjarak 2 hari per pertandingan hingga tur melawat hingga ke belahan benua lain.
Laga pra-musim yang dikemas secara tur menjadi buah bibir, terutama kemunculanya yang teramat sering sehingga menimbulkan kesan “ekspansi” yang dilakukan klub Eropa sana. Manchester United memulainya dengan melakukan Tur ke Asia, utamanya Jepang dan Korea, yang mereka yakini sebagai fanbase terbesar menyaingi jumlah suporter di kota Manchester sendiri. Setelah itu lub Eropa mulai getol melanjutkan tur pra-musim ke benua Asia. Tercatat Real Madrid, Barcelona, Chelsea hingga Liverpool tanpa ragu-ragu memboyong armadanya menuju timur jauh. Tak hanya Jepang dan Korea Selatan saja yang menjadi santapan namun merambah hingga Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan tentu saja Indonesia.

Indonesia XI vs Liverpool FC

via indonesia.liverpoolfc.com

Menjadi semacam angin segar ketika mengetahui kabar bahwa klub kebanggaan sedari kecil dulu ketika menonton sepakbola Eropa, Liverpool, melakukan tur pra-musimnya di Indonesia. hal ini menjadi yang pertama kali, karena sebelumnya Liverpool melakukan tur pra-musim ke Asia namun tak merambah hingga Indonesia. mungkin bisa dibilang, tur ini adalah buah kesuksesan dari kerjasama maskapai penerbangan milik bumi pertiwi, Garuda Indonesia sebagai sponsor resmi Liverpool Football Club. Tanggal 20 Juli 2013 bertempat di Stadion Gelora Bung Karno akan berhadapan dengan pemain terbaik Indonesia dengan nama Indonesia XI.

Seperti yang kita tahu laga tersebut berakhir dengan kemenangan 2-0 untuk Liverpool. Namun sebuah pertanyaan terbesit ketika menjelang pertandingan tersebut. Sebagai seorang kopites, pendukung Liverpool, tentu saja wajar ditanyai pertanyaan seperti ini.pertanyaan itu adalah:

“Bro, gak ke Jakarta nonton Liverpool?” Dan jawaban saya waktu itu adalah: “Nggak. Entah kenapa nggak minat.”


Waktu itu jawaban saya mengapa melewatkan laga pra-musim Liverpool di Indonesia adalah sesimpel itu. Mungkin alasan yang tepat untuk melewatkan laga tersebut adalah seperti ini secara panjang lebar kurang lebih:

Pertandingan tur pra-musim tidak memiliki jiwa sebenarnya pertandingan. Tak ada hal yang di perjuangkan oleh 11 pemain dari kedua tim. Sepakbola sejenak menghilangkan esensi lelaki. That is any something worth to uphold in football match, but not in football friendly match.



Saya tahu pendapat ini sangatlah debate-able. Namun setidaknya saya telah mengungkapn dan anda bisa memulai untuk berpikir. Ini tentang sepakbola, olahraga yang sama-sama kita gemari akan keindahanya dari berbagai sudut pandang.

@aditmaulhas.

Selasa, 13 Agustus 2013

Semangat yang Layaknya Berbanding Lurus dengan Frekuensi

Frekuensi sejatinya bersifat fluktuatif. Kadang naik begitu jelas, kadang turun hingga tersamarkan.



Yang tersamarkan berdalih tidak dalam frekuensi yang sama. Berbeda. Di satu sisi tinggi sedangkan yang lain rendah.



Semangat layaknya frekuensi. Ya, kadang tinggi hingga bersemangat dan kadang rendah bagai lesu darah. Fluktuatif.


Idealnya kita berada dalam satu frekuensi yang sama dengan saling memahami.


@aditmaulhas.

Selasa, 30 Juli 2013

When The 3rd Year of College is Come, The Number of "Buber Thingy" is Decrease

Alhamdulillah kita dipertemukan dengan bulan yang paling mulia kembali. bulan Ramadhan. bulan dimana pahala  kita di lipat gandakan. bahkan tidurnya seorang yang berpuasa itu dikategorikan sebagai ibadah.

begitulah kata ustadz, bro.

Tapi dibalik itu semua, ada fakta itu yang seringkali kita temui pada setiap bulan Ramadhan. sebuah kegiatan "tahunan" yang rutin di selenggarakan. menurut sejarahnya, kegiatan atau kebiasaan ini cuma happening di negara kita, Indonesia.

Buka bersama atau khalayak biasa menyingkatnya menjadi "buber". kegiatan dimana sekelompok orang yang sudah janjian sebelumya berkumpul di satu tempat (tempat makan biasanya) membatalkan puasanya secara berbarengan.



Kegiatan buka bersama atau "buber" ini sudah menjadi kultur di Indonesia. bayangkan, di setiap bulan Ramadhan pertahunya rumah makan ataupun kedai nongkrong hampir selalu penuh pada saat jam-jam menjelang buka hingga menjelang isya.

Terus berulang dan menjadi sebuah kultur membuat kegiatan buka bersama ini bertransformasi menjadi kegiatan temu kangen, atau sekedar reuni kecil-kecilan kepada sahabat lama. mulai dari temen SD, SMP, SMA, kuliah bahkan sekedar organisasi. that's the way mengapa setiap bulan Ramadhan jadwal buka bersama sangatlah padat.

Thus, disinilah poin yang menarik. ketika kita sudah mencapai tahun ketiga kuliah kegiatan buka bersama kita menjadi sedikit berbeda. here is the hypothesis:

 When The 3rd Year of College is Come, The Number of "Buber Thingy" is Decrease

Karena ditahun ketiga kita kuliah sudah banyak kegiatan yang ternyata menjadikan jumlah jam ketidak-selo-an itu berkurang. Kuliah Kerja Nyata (KKN) sudah mulai dilaksanakan, yang mau tidak mau seluruh fokus harus di curahkan. belum lagi persiapan skripsi, "BUJS (Berkas Usulan Judul Skripsi) thingy" yang sudah mulai dipersiapkan.



Tapi apapun itu, biarlah kegiatan buka bersama ini tetap menjadi kultur yang terus berlanjut. faedah dibaliknya sangatlah luar biasa karena terus menyambung tali silaturahmi yang kata hadists bisa melapangkan jalan ke surga.

happy fasting, guys!  

@aditmaulhas

Sabtu, 01 Juni 2013

Kontemplasi 21

Dalam satu tahun perjalanan, 365 hari dan 12 bulan, ada satu bulan yang paling istimewa menurut saya. Bulan itu adalah bulan Mei.





Alasanya tak lain tidak bukan adalah hari kelahiran jatuh pada bulan itu. Tepat pada tanggal 14. Ulang tahun khalayak banyak menyebutnya. Setiap tahun berganti, bertambah pula umur kita. Mengulang hari kelahiran di setiap tahunya.

Kali ini saya memperingati 21 tahun sudah perjalanan. Umur yang merupak titik dimana tingkat kedewasaan akan semakin diperhatikan. Apalagi sebagai seorang lelaki, beranjak dewasa merupakan sebuah isyarat bahwa tanggung jawab yang dipikul oleh diri sendiri akan semakin nyata.




Kedewasaan dalam  mengambil keputusan. Bagaimana menganalisis suatu masalah tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Bagimana tidak meng-over generalisasi sebuah masalah. Bagaimana mampu berpikir dari sudut pandang yang lain dan tidak menyalahkan orang lain.

21 is already coming and I must say thank you for May :)

@aditmaulhas.


Minggu, 14 April 2013

Gerbong Arema LPI Berlabuh di Sleman


Cerobong asap dari kereta itu telah mengepul di udara. Lokomotif beserta gerbongnya berlabuh di stasiun pemberhentian. Berangkat jauh dari Malang dan memilih Sleman sebagi tempat persinggahanya.

Fenomena “gerbong” acapkali terjadi dalam perhelatan liga akbar sepakbola negeri ini. Bursa transfer yang ramai dibuka seringkali menyajikan kejutan. Perpindahan pemain dari satu  tim ke tim lain pun kadang-kadang sulit di prediksi. Layaknya sensasi transfer ala taipan minyak timur tengah di Liga Inggris, hal serupa juga acapkali terjadi di liga Indonesia.

Atas dasar bobroknya manajerisasi klub lama, telat di bayar gaji oleh klub lama maupun di putus kontrak beramai-ramai oleh klub lama karena ingin revitalisasi menjadi alasan di balik fenomena “gerbong” terjadi di bursa transfer pemain di liga Indonesia. Ketika satu pemain berpengaruh pindah, maka pemain lainya ikut pindah. Domino effect. Hal serupa pula terlah terjadi pada klub kebanggaan warga Sleman, PSS Sleman, yang pada musim 2013/2014 ini “kelimpahan gerbong” pemain dari Arema LPI.

Bobroknya manajerisasi di klub Arema Liga Primer Indonesia (LPI), atau kloningan dari Arema Cronus yang berkompetisi di Liga Super Indonesia (LSI), menjadi alsan di balik itu semua. Pemain Arema LPI menganggap manajemen mereka seperti setengah hati untuk ikut kompetisi musin 2013/2014. Sebagai pemain sebakbola yang menghidupi dari lapangan hijau, mau tak mau pindah menjadi pilihan. Dan gerbong itu mulai berjalan menuju Sleman.

PSS Sleman. Truly green.

sumber: @PSS_Official1


Manajemen PSS Sleman yang sedang menyongsong kompetisi Divisi Utama LPIS tak luput mengamati pergerakan ini. Satu persatu pemain dari Arema LPI ikut seleksi dalam pembentukan tim. Dimulai dari kipper, nama Ajisaka turt menghiasi mistar gawang PSS Sleman musim ini. Kiper yang sempati dipanggil seleksi untuk Sea Games 2011 ini berpotensi sebagai penjaga gawang utama PSS Sleman musim 2013/2014.

Di barisan pertahanan nama  Wahyu Gunawan dan Waluyo mejadi nama yang cukup di sorot. Kerjasamanya diharap bias bahu membahu menggalang blok pertahanan Sleman bersama kapten Abda Ali dan Ade Christian. Dan Usep Munandar, pemain berprofil tinggi ang malang melintang di liga level atas di Indonesia bersama PSMS Medan, Persib Bandung dan Persik Kediri melengkapi sektor defense.

Beralih ke tengah jantung pertahanan PSS Sleman, darah muda dan power datang dari Juan Revi yang berperan sebagai holding midfielder dan  Anggo Julian sebagai pendistribusi bola. Komposis 2 gelandang ini kan ditemani playmaker idola publik Sleman yakni Anang Hadi dalam hal mengkreasi serangan.

Di depan yang merupakan sektor penggedor merupakan kesuksesan dari “gerbong” Arema LPI berlabuh di Sleman. Pemain Timnas Singapura yang sempat mmebirakan gelar AFF Cup buat negaranya, Noh Alam Shah atau akrab disapa Along mengisi satu slot striker. Pemain yang dikenal tempramen ini diharapkan akan menjadi tumpuan mesin gol bagi PSS Sleman dalam mengarungi kompetisi Divisi Utama LPIS musim 2013/2014. Slot kedua bagi jung tombak lantas diberikan pada bomber muda yang juga dating dari Arema LPI yaitu Moniega Bagus Suwardi.

Sebagai klub yang mulai beranjak professional, skuad “gerbong” dari Arema LPI tadi cukup menjanjikan. Tak tanggung-tanggung, manajemen mematok target juara dalam kompetis divisi Utama LPIS 2013/2014. Dengan dukungan penuh dari Slemania dan Brigata Curva Sud Sleman, hal ini bukan hal mustahil untuk di wujudkan. Kata professional patut digaris bawahi, karena sejauh ini klub kebanggaan publik Sleman masih bersih dari manipulasi manapun.


Dan Gerbong Arema LPI berlabuh di Sleman.


@aditmaulhas.

Selasa, 19 Maret 2013

International Class is My Comfort Zone


Beberapa waktu yang lalu dunia pendidikan sempat dihebohkan oleh kebijakan yang menyentuh salah satu unsurnya. Kebijakan itu ialah di wacanakanya penghapusan kelas Rintisan  Sekolah Berbasis Internasional (RSBI). Yep, kelas yang menitik beratkan pada metode pengajaran yang mengacu pada sistem kelas Internasional.sesuai dengan namanya yang mengacu pada  metode pembelajaran Internasional, berjalanya kelas disesuaikan dengan menggunakan cara internasional yakni memakai bahasa pengantar bahasa Inggris, buku dari luar negeri serta mengunakan tenaga pengajar dari luar negeri. Thus, the question :  are they (RSBI class) truly called as “International Class”?
Kebijakan dari pemerintah tersebut menggelitik memang. Sebagai personal yang terlibat dalam kegiatan belajar megajar dalam lingkup kelas internasional, mulai bertanya pada diri sendiri. Apakah selama ini sudah merasakan benar manfaat dari kelas internasional? The question is raised. A lot. Kuliah hampir kurang lebih jalan 3 tahun, tecatata sebagai mahasiswa International Program of International Relations (IPIREL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sedikit banyak tahu tentang bagaimana metode belajar dengan cara internasional. Sudah dapat manfaat belum selama di kelas internasional atau cocok di sebut mahasiswa dengan kualifikasi internasional?
Lalu apa saja rutinitas yang terjadi selama kurang lebih hampir 3 tahun menjadi mahasiswa di kelas internasional? A lot! Mulai dari hal yang sederhana, ketika memulai jadi mahasiswa tahun pertama di IPIREL UMY. Ada satu ruangan yang khusus di buat untuk mahasiswa kelas internasional. Ruangan itu biasa di sebut “study hall”. Dari namanya jelas bahwa ruagan trsebut diperuntukkan untuk kegiatan belajar. Banyak hal bisa dilakukan di study hall, mulai dari browsing internet, sekedar baca buku sampai berdiskusi panjang lebar. Ruangan ini cukup nyaman untuk berlama-lama di dalamnya karena dilengkapi pendingin ruangan.
IPIREL 2010 Squad

Tak hanya sebuah ruangan study hall yang menjadi fasilitas bagi mahasiswa kelas internasional di UMY. Pola belajar mengajar dengan mengunakkan bahasa inggris, baik itu dari segi bahasa pengantar saat proses pembelajaran maupun buku yang digunakan. Ditambah lagi bahwa dosen dari luar negeri seringkali dihadirkan sebagai selingan dalam proses kuliah. Hal-hal diatas membuat atmosfer kompetisi begitu terasa. Diatambah lagi adanya kesempatan exchange student maupun transfer kredit untuk merasakan lebih nuansa internasional dalam proses pembelajaran.
Namun, terlintas dalam pikiran apabila kita hanya terus menerima atas segala fasilats yang disediakan oleh kelas internasional maka kita akan terbuai. Zona nyaman pun terbentuk. Terkungkung dalam satu cakupan tanpa memperdulikan dunia luar, bahkan anti sosial dalam bersosialisasi ke luar lingkungan dari kelas internasional itu sendiri. Fakta sangat njomplang saya temukan ketika berdiskusi ataupun tegur sapa dengan mahasiswa yang bukan dari kelas internasional. “kok ga pernah keluar dari study hall?” atau “gaulnya cuma sama anak IC aja nih” menjadi pertanyaan atau sapaan yang sering terdengar waktu tahun pertama menjadi mahasiswa kelas internasional.
Tentu saja ada pola “idealis” yang selayaknya sebagai seorang mahasiswa internasional. Dengan fasilitas yang melimpah, tentu saja hal tersebut hendaklah digunakan dengan baik. Di otimalkan dengan maksimal. Suasana kompetisi yang terjadi adalah hal yang menurut saya sebagai comfort zone. Nyaman dalam artian pola pikir untuk terus memberbaiki kualitas diri terus terjaga. Namun tak lupa sebagai mahasiswa yang menempatkan diri sebagai personal yang sosial, hubungan antar mahasiswa juga harus terjaga tanpa membedakan kelas. Kadang kita perlu untuk keluar dari comfort zone kita dan berinteraksi dengan sekitar. Ya, karena hidup bukan statis di satu tempat namun harus terus berputar dan bergerak.

By the way, kuliah di kelas internasional itu biayanya mahal. Jadi.........kuliah yang bener, Dit.



@aditmaulhas.