Butet Manurung di sharing session PK 35 LPDP foto via @najmulaila |
Sebuah program yang
dikhususkan untuk para penerima beasiswa LPDP sebelum menempuh studinya, atau
biasa disebut sebagai “Persiapan Keberangkatan” yang disingkat PK, ternyata tak
hanya sekadar seremonial belaka. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur khas
Indonesia, seperti integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan
kesempurnaan. Selama lima hari, mulai 3 hingga 8 Agustus 2015, tak ada kesan
digurui ataupun pemaksaan, namun penguatan kapasitas diri untuk
mengimplementasikan nilai tersebut.
Saya bersyukur,
bisa mengikuti sebuah acara yang dibuat oleh LPDP, agar para penerima
beasiswanya tak lupa asal-usul kebhinekaanya. Kebahagiaan itu semakin lengkap,
dengan bisa langsung mendengarkan pemaparan seseorang yang saya kagumi karena
perjuanganya di bidang literasi, Butet Manurung, dengan pengabdianya membangun
Sokola Rimba.
Dalam satu sesi
dalam PK LPDP, yakni sharing bersama tokoh, Butet Manurung hadir sebagai
representasi dari nilai nasionalisme. Dalam kurang lebih dua jam pemaparanya,
sosok yang pernah mengenyam studi master di Australian National University ini
mengetengahkan tema refleksi merah putih, yang terwujud dalam pengabdianya
mengelola sekolah bagi anak di daerah pedalaman Indonesia.
Berawal dari
kegemaranya berpetualang, mulai dari mendaki gunung hingga arung jeram, wanita
yang bernama asli Saut Marlina Manurung ini kemudian berefleksi untuk
mengabdikan dirinya dalam dunia literasi. Pemikiranya sebagai seorang penjelajah
yakni “petualang yang keren adalah petualang yang bermanfaat bagi orang lain”,
cukup mengusik pikiran saya pada waktu itu. Disaat dewasa ini berkembang tren
naik gunung hanya untuk eksis semata dengan menggunggah foto di media sosial,
Butet Manurung telah berpikir visioner. Benar saja, ide brilianya untuk
membangun Sokola Rimba tercetus saat dirinya melakukan pendakian di Papua.
Perjuangan wanita
43 tahun ini dalam mengembangkan Sokola Rimba dilakukanya dengan sepenuh hati.
Totalitasnya dibuktikan dengan ikut tinggal di daerah pedalaman Jambi, tempat
sekolah yang ia bangun di wilayah Suku Kubu berdiam. Terhitung pada tahun 1999,
Butet Manurung mendirikan sekolah bagi anak pedalaman yang diberi nama “Sokola
Rimba”, dengan materi literatif melalui baca tulis, memberikan pengetahuan
tentang dunia luar (pakaian dan sopan santun), serta edukasi tentang sanitasi
dan kesehatan.
Dalam perjalananya,
Sokola Rimba yang dirintis oleh dara asli Batak ini sempat mengalami pasang
surut. Mulanya apa yang dilakukan Butet Manurung, melakukan pendidkan literasi
dengan mengajar baca tulis, dianggap salah oleh Kepala Suku Kubu. Keberadaanya
di pedalaman Jambi pada bulan pertama amat tak nyaman, dengan penerimaan
negatif yang kerap kali diterimanya. Titik terang akan kelangsungan Sokola
Rimba mulai muncul ketika Gentar, murid pertamanya, mampu menyerap pendidikan
literasi yang ia berikan, walaupun dalam proses belajarnya yang harus secara
sembunyi-sembunyi. Alhasil, melalui momen dimana murid dari Sokola Rimba sukses
mengagalkan surat kontrak yang merugikan Suku Kubu, dengan cakapnya mereka
membaca, lambat laun Butet diterima dan leluasa untuk mengembangkan sekolah
rintisan ideologisnya.
Tak hanya berhenti
dengan pendidikan literasi, sosok yang mendapatkan Heroes of Asia Award 2004
dari majalah TIME ini juga mengembangkan arah perjuanganya ke pemberdayaan
masyarakat. Suku Kubu di Jambi juga ia bina dengan sepenuh hati. Dengan
keberanianya untuk membaur dan hidup bersama masyarakat adat setempat,
perlahan-lahan dirinya memberdayakan masyarakat dengan bekal ilmu di ranah
antropologi. Target besarnya yang secara gamblang ia sampaikan adalah bagaimana
Sokola Rimba dapat memberdayakan masyarakat melalui advokasi dan akses terhadap
fasilitas umum. Unsur keberlanjutan program sekolah bagi masyarakat pedalaman
ini juga menjadi perhatian Butet Manurung, dengan memberikan pelatihan agar
kelak tumbuh kader dari masyarakat setempat, berperan sebagai guru.
Apa yang dilakukan
oleh Butet Manurung ini, bagi saya, adalah contoh nyata dari sebuah refleksi
nilai nasionalisme. Perjuanganya dibidang literasi, dengan mengajarkan baca
tulis dan ilmu pengetahuan dengan membuat sekolah bagi anak-anak di pedalaman
Indonesia, adalah wujud nyata untuk terus berjuang pada era dewasa ini. Contoh
yang diberikan oleh wanita Indonesia bermarga Manurung ini telah menginsiprasi
saya ketika mengenyam pendidikan S2 di Inggris nanti, akan menyerap ilmu
sebanyak-sebanyak untuk kemudian bisa berbagi pada ranah literasi.
Persiapan
Keberangkatan LPDP dan pertemuan dengan sosok Butet Manurung disalahsatu
sesinya telah membuat saya mengerti lebih dalam tentang arti berjuang di jalan
literasi. Teringat akan ujaran terkenal dari bapak proklamator kita, Ir
Soekarno, bahwa perjuangan kita dikemudian hari bukanlah melawan penjajah melainkan
menggebah kebodohan, maka berjuang di jalan literasi merupakan sebuah
perjuangan melawan kebodohan itu sendiri.
How To Play Blackjack - Casino Sites
BalasHapusBlackjack is one of the easiest games on 카지노사이트 the online 우리카지노 casino table. It has two main pay lines: 2x2 blackjack; 3-player blackjack. The minimum deposit to play is $10 and the maximum